Ch. 19

191 26 0
                                    

Tak mempedulikan Rumi yang sudah merengek malu, Arion tetap melingkarkan kakinya pada pinggang Rumi. Pantang lapas sebelum ciuman selamat pagi ia dapatkan.

"Mau gini sampai besok juga ayo, mas ngga wajib ke kantor kok. Kalau mas laper tinggal makan kamu aja." Menyeringai senang, lengannya makin memeluk erat leher Rumi.

Merasa sesak karena pelukan Arion, Rumi akhirnya menepuk sekilas punggung lebar itu, "iya, lepas dulu. Aku sesak."

Mengikuti permintaan Rumi, Arion melonggarkan sedikit pelukannya. Menatap mata bulat itu yang tengah meringis menahan malu. "Mas tutup dulu matanya." Pinta Rumi.

"Ngga mauu." Tolak Arion, menggeleng santai dengan wajah yang sudah ia dekatkan pada wajah Rumi.

Memilih mengalah untuk menghindari mereka berdua mati kelaperan, Rumi menatap bergantian antara mata Rion dan juga pipi dengan garis rahang yang tegas itu.

"Bukan di pipi, on my lips."

Mengangguk samar, Rumi memejamkan kedua matanya dengan tangan yang memegang kedua sisi pipi Arion.

Cup.

Arion tidak tahan, saat wajah itu menjauh. Satu tangannya langsung naik menarik tengkuk Rumi untuk mendekat dan meletakan kembali bibirnya tepat di atas bibir Rumi. Memperhatikan kembali wajah itu dengan lebih dekat, bagaimana kedua pipi itu memerah, bulu mata panjang dan melentik, serta mata bulat kecoklatan yang tiga bulan ini selalu bersamanya.

"Selamat pagi, Sayang." Sapa Arion kembali.

"Selamat pagi, Mas." Balas Rumi.

"Adek lanjut tidur aja, biar mas yang masak." Mengusap punggung Rumi, Arion kembali memeluk tubuh kecil itu. Menyembunyikan wajah semerah tomat yang terlihat lucu itu di dalam dekapannya.

"Gapapa, Mas. Aku aja." Suara Rumi teredam di balik dada Arion, mendongak untuk melihat wajah tampan pria yang berstatus sebagai suaminya.

"Mas aja, adek lanjut tidur lagi gapapa. Nanti kalau udah selesai mas bangunin." Kembali mengecup puncak kepala Rumi. Arion akan memastikan si kecil ini tidur lagi, baru ia akan beranjak.

"Terima kasih. Boleh adek eh, boleh aku peluk kah?" Tanya Rumi memastikan, untuk case tadi malam mungkin masih bisa dimaklumi karena Rumi tidak sadar, tapi untuk pagi ini akan sangat memalukan jika tiba-tiba Arion menolaknya.

"Boleh, mas juga meluk kamu. Ngomong-ngomong, panggilan 'adek' juga lucu. Adek aja ya." Mengangguk memberikan ijin, lengan Arion kembali mendekap Rumi di depan dadanya.

Bersenandung ringan dengan tangan yang terus menepuk pelan punggung Rumi. Sesekali ia akan mengusap sayang surai legam itu sebelum tersenyum samar saat sadar apa yang saat ini tengah ia lakukan.

Lima belas menit berlalu dan Arion dapat merasakan deru nafas yang teratur dari Rumi. Hendak melepas pelukannya sebelum tarikan pelan ia rasakan pada lengan kemejanya.

Tak ingin membuang waktu, dengan tanpa beban Arion melepas begitu saja kemeja yang tengah ia kenakan dan berjalan santai menuju dapur dengan keadaan yang masih bertelanjang dada.

**

Meraba sisi ranjangnya, Rumi mengeryit heran saat tidak mendapati Arion di sana. Tadi Rumi yakin ia sudah menggenggam erat baju suaminya itu.

"Mas?" Panggil Rumi. Mendudukan diri di atas ranjang dan yang ada di dalam genggamannya hanyalah sehelai kain.

Menuruni ranjang, Rumi berjalan masih dengan muka bantalnya. Menuruni tangga dengan pakaian Arion yang masih ia genggam erat. Pokoknya Rumi berniat untuk protes nanti.

"Mas Ion?" Panggil Rumi.

"Dalem, Dek." Arion menyahuti dari dapur.

Menghampiri Arion, Rumi berdiri tepat di samping tubuh tinggi itu."Kenapa adek ditinggal?" Jika dilihat seperti ini, Rumi dan Arion lebih mirip seperti tunas rebung dan juga bambu tua.

"Mas kan mau masak, emang adek ngga lapar?" Mengacak asal puncak kepala Rumi, Arion gemas. Ini seperti Exu, tapi dalam bentuk perempuan.

"Kita bisa masak bareng?" Alis Rumi berkerut tipis. Jika untuk urusan memasak, Rumi jago tenang saja. Bahkan ia sudah mahir membuat rendang.

"Udah, duduk aja. Mas udah bikinin susu itu. Bajunya ditaro dulu, kenapa dibawa-bawa gitu?" Pandangan Arion terpaku pada kain yang nyatanya sedari tadi Rumi bawa-bawa.

"Adek tadinya mau protes." Ujar Rumi.

"Kenapa?"

"Karna ditinggal."

**

Edlyn, Alden, dan Exu hanya bisa mematung dari balik sofa ruang keluarga. Dengan mata yang mengerjap, Edlyn dan Exu menahan gemas setengah mati. Pasangan ibu dan anak itu sudah berpegangan tangan saking gemasnya.

"Damn, apa itu? Lucu sekali?" Exu mleyot. Ia memang laki-laki tulen, tapi jika ia berada di dalam tubuh wanita dan diperlakukan seperti itu siapa juga yang tidak akan salah tingkah?

"Mami ngga tahan!" Kembali duduk tegap dan menghadapatkan tubuhnya ke arah dapur. Edlyn bersidekap dada menatap pada dua insan muda yang tengah dimabuk cinta.

"Fungsinya kamu masak ngga pake baju itu apa mami tanya."

"Fuck! Sialan, kaget." Makian terkutuk itu keluar begitu saja dari mulut Arion. Menatap pada tiga manusia yang sudah berjejer santai menatapnya dari balik sofa sana.

"Sejak kapan aja itu?" Heran Arion, perasaan saat ia turun tadi tidak ada siapapun di rumahnya kecuali mereka berdua, hanya ada Arion dan Rumi.

"Niatnya kami mau ngasih kejutan, tapi malah kami yang dapet kejutan." Meniup kuku-kuku tangannya, Alden sedang bertukar peran dengan Edlyn saat ini.

"Kayak ngga pernah aja." Ledek Arion.

"Muka Kak Rumi kenapa begitu? Kakak tampar yaa?!" Tuduh Exu, menunjuk Arion dengan penuh dendam setelag menyenggol kedua orang tuanya.

"Ya kali? Emang aku cowok apaan? Orang dianya nangis sendiri kok." Sebagai pria dewasa yang berdedikasi tinggi, tidak akan pernah Arion melakukan hal terkutuk itu.

"Nangis kenapa? Kamu apain?" Selidik Alden. Awas saja jika macam-macam anak sulungnya ini.

"Ngga ada aku apa-apain loh. Aku semalem kan ngumpul sama anak-anak, tanya Exu kalau ngga percaya. Exu juga ikut kok." Menunjuk Exu yang langsung mengangguk karena memang begitu adanya.

"Nangis kamu tinggal sendiri itu namanya! Emang jam berapa kamu pulang?" Edlyn sudah menyipitkan matanya, bersiap menerjang Arion jika memang membuat ulah pria dewasa ini.

"Ehe, jam sebelas sih. Kebablasan sumpah. Besok-besok ngga lagi." Mengangkat kedua tangannya ke udara, Arion hanya merasa ia harus segera menyerah saat itu juga. Jika tidak, entah apa yang akan dilakukan oleh maminya itu.

"Kebiasaan!"

**

"Ngga kerja kamu?" Tanya Alden. Ini sudah hampir jam sepuluh dan anaknya ini masih bersantai seperti ini? Lupa diri apa?

"Engga, udah ada Gin di kantor. Biarin Gin aja lah yang ngurus, Mika pusing." Merebahkan tubuhnya di atas sofa, matanya tertuju pada layar televisi.

"Pusing apanya? Emang kamu ngapain?" Sinis Alden, berasa paling sibuk memang anak dugong satu ini.

"Menghadapi kelucuan istri Mika, Mika pusing."

"Pupupupu!"

__

The Way Love GrowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang