Dengan perasaan yang campur aduk, Rumi menenangkan diri sebelum memutuskan untuk kembali memasuki rumah lamanya.
Iya, rumah yang ada mama tiri dan juga papanya.
Rumi menolak tawaran Arion yang ingin mengantarnya hingga memasuki runah, Rumi tidak mau. Ia sudah berusaha keras untuk tidak kembali menangis sejak semalam.
Melangkah perlahan memasuki bangunan yang orang-orang sebut sebagai rumah, Rumi sudah disambut dengan tatapan sinis Indri dan juga Devin.
"Kenapa kamu bawa koper?" Tanya Indri. Senyum sinis tersungging di sana yang mana langsung membuat Rumi paham kalau wanita ini sebenarnya sudah tahu.
"Ngga pernah pulang, sekalinya pulang kalau bikin masalah." Sindir Devin. Duduk dengan kaki menyilang saling tindih, Rumi berlalu begitu saja menuju kamarnya.
Semakin ia berlama-lama di sana, akan semakin gila Rumi. Kasihan anaknya nanti. Belum lahir, tapi beban pikirannya sudah banyak sekali.
"Ini masih rumah bunda, aku berhak untuk tinggal di sini."
**
Memasuki kamarnya dan meletakan kopernya di kaki ranjang. Rumi menghela nafas dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Mengeluarkan satu kemeja Arion yang sebelumnya sudah sempat dia selundupkan ke dalam barang bawaannya.
"Dedek, maafin moma ya. Dedek jangan marah sama moma ya, Nak." Bisik Rumi. Mengusa perutnya seraya memeluk kemeja Arion, Rumi lelah. Entah, sepertinya kemeja ini tidak akan pernah Rumi cuci.
"Kenapa kamu pulang?!"
Belum semenit Rumi memejamkan matanya, suara Abel sudah memenuhi kamar Rumi. Wajah pria itu benar-benar terlihat begitu marah, urat-urat tercetak jelas di atas kulit leher serta kepalan tangannya.
"Ini masih rumah bunda, aku berhak buat pulang semau aku." Tak berniat merubah posisinya, Rumi masih berbaring dengan tatapan yang tertuju pada jendela kamar.
Membelakangi Abel.
Menarik kuat tangan Rumi hingga tubuh itu terangkat paksa dengan sangat kasar.
"Sakit." Meringis pelan, Rumi memukul lengan Abel yang masih mencengkram tangannya.
"Ngapain kamu pulang? Berdiri! Biar aku antar ke rumah Arion."
Lagi, tarikan kuat Rumi dapatkan hingga tubuh kecilnya bangkit berdiri nyaris terseret menuju pintu.
"Sakit! Ngga mau, aku mau di sini." Memberontak, menarik kuat tangannya dari genggaman Abel walau berakhir ia tetap tidak bisa lepas.
"Kamu ngga boleh di sini!" Bentak Abel. Memutar tubuhnya untuk menghadap Rumi, sorot mata Abel mengisyaratkan bahwa ia khawatir dan juga kesal.
Menghempas tangannya begitu saja, Rumi memukul dada Abel dengan kesal. "Kenapa? Abang takut warisan bunda aku ambil?" Tuding Rumi.
Rahang Abel mengeras menahan marah, mengunci pintu kamar Rumi dan mencengkram kuat dagu adik pertamanya. "Aku susah-susah ngeluarin kamu dari sini, kamu dengan bodohnya dateng lagi dengan tanpa beban! Idiot!" Teriak Abel tepat di depan wajah Rumi.
"Aku cuma bakal di kamar aku doang, abang ngga perlu khawatir soal warisan. Aku ngga bakal ngambil apapun. Semuanya kan udah papa bagi-bagi buat dua anak kesayangannya. Aku kan cuma anak haram bunda." Amuk Rumi.
Rumi hanya ingin berdiam diri di dalam kamar seraya menungumpulkan energi. Ia sudah selelah itu dan sekarang Abel malah mengata-ngatainya.
"Setakut itu aku bakal ngambil warisan bunda? Ambil aja semuanya! Aku cuma mau kamar aku." Teriak Rumi.
Dengan pikiran yang sudah rumit mengenai Arion, anaknya, dan kelangsungan hidupnya sendiri. Bisa tidak ia tenang satu hari saja?
Suaranya nyaring dari tamparan tangan Abel langsung memenuhi kamar Rumi. Dengan emosi mereka yang sama-sama sedang naik, Rumi menatap Abel dengan matanya yang berkaca-kaca.
"Kamu ngga tau apa-apa." Desis Abel.
Rumi muak, semua orang benar-benar membuatnya muak. "Apa yang aku ngga tau?" Jengah Rumi. Menatap nyalang pada Abel dengan emosi selama bertahun-tahun yang sudah ia pendam hingga membusuk.
"Apa? Bagian mana? Semua kita tau papa sama bunda selingkuh, semua kita tau kenapa bunda bisa meninggal tapi semua orang ngarahin tunjuknya ke aku sendiri. Kenapa? Semua kita juga tau kalau mama ngga pernah suka sama aku. Papa juga nutup mata kalau aku udah beberapa kali hampir mati karna mama!" Teriak Rumi. Persetan dengan suaranya yang akan terdengar hingga lantai satu, Rumi benar-benar sudah muak.
"Apanya yang aku ngga tau? Abang sama adek yang ngebantuin mama buat nyoba matiin aku? Apa? Sekarang cuma kita berdua aja di sini, kenapa ngga abang coba lagi?" Tantang Rumi. Berdiri di depan Abel dengan nafas yang memburu.
Setelah bertahun-tahun Rumi menjadi orang bodoh yang hanya bisa diam saat semua hal buruk terjadi padanya, anggap saja ini kesempatan terakhir Rumi untuk hidup.
"Ah? Aku tau, ngga ada alatnya ya? Gapapa. Biar aku ambilin." Berjalan menuju laci bawah meja riasnya, Rumi mengeluarkan satu pisau yang tidak akan pernah berubah letaknya.
"Ambil." Menyerahkan ke tangan Abel, Rumi tertawa. Lucu, lucu sekali raut wajah saudaranya ini. "Apa lagi? Udah aku kasih alat kan? Kalian pasti cape karna aku masih hidup. Ini, sekarang aku kasih hidup aku. Ambil aja. Dulu memang mungkin aku mohon-mohon di bawah kaki kalian biar aku tetap hidup, sekarang ngga lagi. Aku udah ngga peduli, ambil aja. Ambil semua."
Tertawa geli, Rumi duduk pada pinggiran ranjang dengan satu tangan yang memegangi perutnya, "lucu banget. Giliran udah aku kasih, kenapa kek orang bodoh gitu? Udah ngga seru ya main-main sama aku?"
Abel tidak tahu, abel tidak paham apa yang sudah terjadi pada adiknya ini. Dengan tawa yang masih menguar dan air mata yang tak berhenti. Entah apa yang tengah wanita ini pikirkan.
Suara berdenting dari pisau dan lantai yang beradu menandakan bahwa Abel sudah membuang pisaunya. Mendekati Rumi dengan dua tangan yang memegang pundak ringkih itu.
"Sadar! Ngga ada yang pengen ngambil nyawa kamu."
"Ngga ada?" Ulang Rumi. Menatap nyalang pada Abel dengan tawa sinis yang masih menguar dari bibirnya.
"Siapa yang ngebenamin aku ke tengah kolam padahal tau kalau aku ngga pernah bisa berenang? Siapa yang ngunciin aku di gudang padahal tau kalau aku takut gelap? Siapa yang diem doang ngeliat aku ditampar-tamparin papa padahal bukan aku yang salah?" Suara Rumi mulai terdengar pelan di antara kalimat demi kalimat. Bahunya bergetar sedih dengan suara isak tangis yang sudah tidak bisa lagi Rumi bendung.
Luka itu masih terasa begitu nyata bagi Rumi.
"Siapa? Siapa yang ngga pernah peduli waktu aku mohon-mohon manggil nama abang, tapi abang diem doang sambil senyum? Siapa? SIAPA?!" Teriak Rumi. Bendungan tangis yang berusaha ia tahan sedari tadi langsung kembali pecah.
Memukuli Abel dengan membabi-buta tanpa peduli pada ketukan kamarnya yang tidak berhenti.
"Aku nyaris mati juga abang ngga pernah peduli!"
__
Napas bentar ngapaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way Love Grows
FanfictionTidak pernah terpikir oleh Arion bahwa ia harus menikah diumur yang baru menginjak dua puluh tujuh tahun ini. Hidupnya selama ini baik-baik saja seorang diri. Bekerja dan membahas berbagai hal bersama dengan teman-teman solasinya. Bermain game, pus...