Ch. 37

114 22 0
                                    

Otak Gin bekerja keras asal kalian tahu ya, si ungu sialan itu tidak mengatakan apapun pada Gin. Semua pekerjaan dibiarkan begitu saja menjadi tanggung jawab Gin.

Belum lagi dengan Harris yang masih dinas.

Nah! Satu-satunya yang bisa dikatakan tengah dinas adalah Harris.

"Dinas luar kota? Surabaya? Tai anjing lah." Umpat Gin. Bangkit dari kursi kebesarannya dan berjalan menuju ruang HR yang tidak jauh dari ruangannya berada.

Gin harus memastikan beberapa hal.

"Putu Ayu!" Memasuki ruangan tanpa mengetok pintu dan langsung berdiri di depan meja tanpa rasa bersalah.

"Bacot, Pak."

"Siapa aja yang ngga masuk hari ini?" Gin sudah benar-benar penasaran, jadi lebih baik ia pastikan sendiri. Keresahannya ini benar-benar sesuai prasangkanya atau tidak.

"Bapak Mikazuki Arion dan Bapak Harris Caine, Sir." Ayu sebagai staff HR langsung menjawab pertanyaan Gin.

Walau pria ini terkadang rada-rada, tapi Ayu tahu untuk saat ini Gin sedang tidak ingin bercanda. Perhatikan saja kerutan di dahinya itu.

"Selain itu?" Tanya Gin lagi.

Memperhatikan layar komputernya selama beberapa detik, Ayu tersenyum tipis. "Masuk semua, Pak."

"Kasih saya rekap absen sebulan belakangan ya. Saya tunggu sampai sebelum jam istirahat." Merampas rubik yang ada di sudut meja, Gin memasukan benda kotak itu ke dalam kantong jasnya.

"Semua bagian, Pak?" Ayu memastikan. Ada gerangan apa ini? Isu potong gaji apa ya? Atau penilaian dadakan?

"Ya."

Gin sudah tidak peduli, sungguh. Kembali berbalik menuju ruangannya. Ingin ia acak-acak saja ruangan itu rasanya.

"Pinjam dulu ya, Sayang."

"Stress." Sinis Ayu.

"Kek... kek... kek mana ya?" Kesal Gin. Entah harus bagaimana Gin menanggapi hal ini, jika mami Edlyn tahu dan bertanya pada Gin. Apa yang harus Gin jawab?

"Anak mami selingkuh mi, kelakuannya kek monyet. Gitu? Apa ngga sakit jantung itu si mami?" Memijat pelipisnya, jemari Gin mengetuk pelan meja kerjanya.

"Gua aja ngga cinta-cintaan gegara males bikin pusing, lah ini gua malah harus pusing gegara kisah cinta orang lain? Puki!" Pokoknya selama seharian ini yang ingin Gin lakukan hanya mengumpat dan mengutuki Arion. Ingin Gin ajak duel saja pria berambut ungu itu rasanya.

Masa bodoh!

"Ngga, tapi kita harus mencari bukti yang konkrit dulu."

**

"Sweet heart, i'm home. Honey?"

"Wah? Mas udah baliiik?" Rumi yang semula tengah berada di dapur langsung berlari menuju pintu utama. Dengan tangan yang terentang lebar dan juga dengan senyumnya yang merekah begitu indah.

Melemparkan tubuhnya pada Arion yang sudah berdiri di depan pintu. Rumi tertawa pelan.

"Mas pulang." Bisik Arion. Melingkarkan tangannya pada pinggang Rumi dan mengangkat tubuh itu untuk beberapa saat. Memberikan satu ciuman selamat datang di dahi, pipi, serta bibir merah muda istrinya.

"Selamat datang." Bisik Rumi. Menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Arion. Rumi benar-benar merindukan aroma ini, sungguh.

"Ayo masuk, adek tadi bikin salad buah. Mas udah makan? Adek udah masak ayam woku." Tanya Rumi. Rumi tidak begitu paham dengan lamanya perjalanan Arion, tapi untuk berjaga-jaga, Rumi sudah memenuhi meja makan mereka dengan makanan.

"Before we get in, can i get a kiss? I miss you so bad." Menyatukan dahi mereka, Arion menutup kedua matanya. Membiarkan pintu utama masih terbuka tanpa peduli pada orang-orang yang mungkin saja akan melihat mereka berdua.

Berdengung pelan, Rumi nampak berpikir untuk beberapa saat. Menangkup pipi Arion dan memberikan satu kecupan tepat di dahi suaminya.

"Sudah, ayo masuk." Ajak Rumi.

Menurunkan diri dari gendongan Arion, tangan Rumi beralih untuk menarik pelan pergelangan tangan prianya menuju dapur.

Mengerutkan samar dahi beserta alisnya, Arion bertanya penasaran. Apa tadi ada tamu? "Kok bikin banyak?"

"Kan mas mau pulang." Menarik kursi dan mendudukan Arion di sana. Di atas meja sudah tersaji semua yang Rumi sebutkan tadi.

Ayam woku? Sudah, bahkan masih mengeluarkan uap tipis karena baru selesai dimasak.

Bakwan jagung? Rumi tidak akan melupakan kesukaan prianya, tenang saja.

Salad buah? Ada, sudah Rumi pindahkan ke dalam mangkok.

Buah potong? Antisipasi jika Arion sedang tidak mau yang manis-manis juga ada.

Kopi? Teh? Air mineral biasa? Lengkap! Arion hanya perlu memilih yang mana yang ingin ia makan.

Sedikit menganga takjub, Arion bertepuk tangan bangga. "Oh? Waw? Terima kasih, Sayang." Menarik tubuh Rumi mendekat, tangan Arion menjangkau pinggang Rumi untuk ia dudukan di atas pangkuannya.

"Sama-sama. Tapi adek lagi ngga mau duduk di sini. Mas pasti capek, adek duduk di kursi adek aja." Membawa dirinya berdiri, senyum lebar Rumi berikan.

Walau rasanya Rumi setengah mati ingin sekali lengan besar itu memeluknya sepanjang hari, tapi Rumi sadar. Arion juga pasti lelah karena perjalanan panjangnya. Rumi sebagai ibu rumah tangga yang benar-benar hanya duduk diam di rumah tentu saja harus sadar diri.

"Yaah, mas maunya sambil pelukan."

"Nanti adek peluk."

Mengalah, Arion memilih untuk menuruti kata-kata istrinya. Menyendok makanannya sendiri dalam porsi double karena Arion ingin mereka makan berdua.

"Sini atuh deketan, mas suapin." Menarik kursi Rumi mendekat, Arion mengapit kedua paha kecil itu dengan tungkai panjangnya.

"Ad-"

"Mas ngga nerima penolakan, mas ngga keganggu. Ini mas udah ngambil banyak buat kita berdua loh." Sanggah Arion, sudah hafal ia dengan gerak-gerik Rumi yang akan memberikan berbagai macam alasan penolakan.

"Nanti mas makannya ngga puas." Rumi merasa tidak enak, percuma ia masak semua menu kesukaan Arion jika Arion sendiri tidak bisa menikmati makannya.

"Ngga bakal. Mas lebih suka gini."

Dan ya, malam itu seperti biasa. Mereka makan dengan tenang. Suara Rumi yang keluar-masuk melalui gendang telinganya membuat senyum Arion terkembang dengan tipis.

Benar-benar menyenangkan.

"Terima kasih makanannya." Kembali memeluk Rumi, "seharusnya adek kemarin masuk koper mas aja. Muat kok ini, adek kan kecil." Ujar Arion. Tertawa kencang dan menggigit pipi kanan Rumi yang sudah pasrah tidak bisa berontak.

"Mas aja yang kegedean. Adek udah pas segini, ukuran orang Indonesia pada umumnya." Membela diri, jangan hanya karena tingginya yang tidak sampai seratus enam puluh Arion bisa seenaknya menghina dirinya kecil ya.

"Kegedean, tapi enak kan? Adek aja suka."

"Apa coba yang enak?" Mendongak, Rumi memukul pelan punggung lebar Arion. Rumi sudah sangat bersyukur dengan tingginya yang sekarang. Tidak lebih dan tidak kurang.

Menurut Rumi sendiri tentu saja.

"Loh? Waktu itu aja adek ngga ber-hmmp."

"Ngga boleh gitu. Yang lalu biarkan berlalu, jangan diungkit lagi." Membekap mulut Arion, Rumi sudah tahu kemana pria besar ini akan menggiring kata-katanya. Memang ya, semua pria sama saja.

"Kan mas bener, adek kan yang ngga mau berenti kemarin itu."

"Aaa udaaah."


__

Iya iyaa, ini aku update. Seng sabar atuh sayang² akuuu

The Way Love GrowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang