Setelah merapikan semua belanjaan mereka, Rumi duduk di depan televisi dengan tangan yang tengah sibuk memotong buah.
Melihat celah yang terbuka lebar, Arion menyingkirkan pisau dan piring yang tengah Rumi pangku. Merebahkan kepalanya di atas paha wanita yang sejak kemarin sudah berstatus sebagai istrinya itu.
"Selama dua hari ini, mas ngga ngeliat kamu megang ponsel. Kenapa?" Arion hanya heran, di saat semua orang tidak bisa lepas dari benda pipih canggih tersebut, Arion sama sekali tidak melihat Rumi memegangnya walau hanya sebentar.
Ah! Benar, Arion juga bahkan tidak memiliki kontak Rumi satu pun. Bagaimana ia akan menghubungi Rumi jika ia akan pulang telat suatu saat nanti.
"Aku emang ngga pake ponsel." Suara Rumi mencicit pelan, entah kenapa ia merasa malu saja pada Arion. Jika ternyata Arion menganggapnya bodoh bagaimana?
"Ngga pake? Rusak atau gimana?" Tanya Arion. Apa tidak begitu ketinggalan berita istrinya ini?
"Emang ngga pake, setelah lulus SMA aku ngga megang ponsel lagi." Menggigit bibirnya resah, Rumi benar-benar takut akan reaksi apa yang akan Arion berikan padanya.
"Kuliah kamu?" Tanya Arion, mengusap bibir Rumi yang sudah berbekas karena gigitannya barusan, "jangan digigit. Nanti luka."
"Aku ngga kuliah. Aku cuma baca buku yang dibeliin sama papa." Menelan semua rasa gugup dan khawatirnya, Rumi hanya berani menatap pada dahi Arion yang terekspos bebas di hadapannya.
"Emang kamu yang ngga mau atau ada alasan lain?" Arion mengeryit heran, Edlyn mengatakan padanya bahwa ia tidak akan memberikan Arion wanita sembarang yang tidak jelas. Arion pikir maminya akan menikahkan Arion dengan gadis yang minimal setara dengannya.
"Aku ngga bisa ngasih tau sekarang, mungkin nanti mas bakal tau sendiri." Menghela nafas pelan, jantung Rumi berdetak tidak karuan.
Menatap wajah Rumi yang tepat berada di atas kepalnya, Arion mengeryit tak paham. "Mas sekarang suami kamu bukan?" Arion memastikan lagi. Atau selama dua hari ini ia hanya bermimpi?
"Iya, suami aku."
"Mas ngga tau apapun soal kamu, kalau mas ngga nanya langsung gimana mas bisa tau? Kalau kamu main rahasia-rahasiaan kek gini, gimana mas bisa kenal sama kamu?" Bahkan maminya sendiri hanya memodali Arion dengan nama lengkap dan tanggal lahir Rumi. Sangat-sangat effort bukan?
"Aku ngga mau nantinya mas ngerasa terbebani karna kasihan sama aku." Rumi sadar untuk hubungan mereka sekarang hanya terjalin karena paksaan dari masing-masing pihak, dan Rumi yakin Arion sudah cukup merasa terbebani dengan semua ini.
"Coba kalau ngomong liatnya ke mas, dari pertama ketemu mas udah bilang kan?" Tak ingin merubah posisinya, Arion sudah terlanjur nyaman. Sepertinya sebentar lagi Arion bisa saja tertidur.
"Aku ngga mau mas cuma ngerasa kasihan sama aku." Mata Rumi mulai berkaca-kaca. Menatap sebentar mata Arion sebelum akhirnya memilih untuk menatap pada bagian lain.
"Ya udah, mas minta maaf ya, kesannya mas maksa banget." Mengusap pelan pipi Rumi, Arion tersenyum simpul. Ingatkan ia untuk lebih mengontrol ego dominan sialannya ini.
"Berarti kamu udah kenal sama mami sebelum ini? Ngga mungkin mami main jodohin mas sama orang lain gitu aja." Mengganti pertanyaannya, Arion akan mencari sedikit demi sedikit informasi untuk ia kumpulkan.
Mengangguk, satu tangan Rumi naik untuk mengusap helai ungu milik Arion. "Kata bunda, mami sama bunda udah temenan dari mereka masih SMP dulu. Terus tetap jaga komunikasi sampai udah pada nikah. Bunda sering cerita sama mami gimana-gimananya bunda. Mungkin karna udah temenan deket, mami sama bunda mutusin buat ngejodohin anak-anak mereka. Dan yang kenanya kebetulan kita." Jelas Rumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way Love Grows
FanfictionTidak pernah terpikir oleh Arion bahwa ia harus menikah diumur yang baru menginjak dua puluh tujuh tahun ini. Hidupnya selama ini baik-baik saja seorang diri. Bekerja dan membahas berbagai hal bersama dengan teman-teman solasinya. Bermain game, pus...