Ch. 35

227 33 2
                                    

"Kenapa ngga mau buka baju?"

Disaat mereka berdua tengah fokus menonton film, maka saat itu lah Arion dan otak randomnya mulai bekerja. Matanya memang menatap kayar televisi, tapi pikirannya sudah berterbangan melintasi angkasa.

Memukul pelan paha Arion, Rumi mendongak untuk menatap sinis pria besar itu. "Mas, udah, jangan dibahas lagi. Adek malu."

"Ganti pertanyaan deh, kenapa ngga mau make lengan pendek?" Bahkan saat ini juga Rumi tetap setia dengan kaos lengan panjangnya.

"Adek ngga biasa, jadinya aneh kalau make lengan pendek." Kembali menyamankan posisinya di pangkuan Arion, Rumi sudah tidak begitu peduli dengan rasa malu. Sudah terlalu nyaman dengan lengan Arion yang memeluk tubuhnya.

"Trus kenapa ngga mau buka baju semalam?" Walau Arion akui, malam pertama mereka mengesankan. Tapi tetap saja Arion tidak puas, sedikit. Masih ada sehelai pakaian yang tidak berhasil ia akusisi semalam.

"Jangan diputer lagi pertanyaannya." Protes Rumi. Teman-teman sekolahnya dulu sering memprotes Rumi karena ukuran dadanya yang memang agak tipis. Sialan. Itu salah satu faktor pendukung ya teman-teman.

"Eh iya, maap."

"Adek cokot juga mulutnya nanti." Omel Rumi. Bersiap mematuk mulut Arion dengan tangan kanannya yang sudah mengambil ancang-ancang.

"Ih mau dong dicokot. Tapi ngga mau pake tangan, maunya pake bibir." Menangkat dagu Rumi untuk melihat wajahnya, Arion sudah bersiap untuk mendekatkan lagi wajah mereka berdua.

Bibir Rumi manis, wajar jika Arion candu kan?

"Adek panggilin Pak Ustadz lama-lama ya ini." Sungguh, terkadang Rumi heran dengan tingkah beruang besar ini. Berubah-ubah sesuka hatinya saja.

Arion tertawa renyah, memeluk perut Rumi yang tengah bersandar pada dadanya seraya mereka menonton televisi.

"Dek."

"Iya."

"Ngga mau ke tempat mama? Kita ngga pernah ke sana loh." Menggenggam tangan Rumi sebelum ia bawa ke depan bibirnya untuk Arion berikan kecupan kupu-kupu.

"Adek ngga mau." Mencicit pelan, Rumi memainkan jemari Arion yang berada di atas perutnya. Rasanya masih terlalu sakit jika Rumi harus kembali ke sana.

**

Beberapa bulan terakhir ini Rumi merasa jika hubungan kedua orang tuanya sedikit bermasalah. Bukan sedikit, lebih tepatnya memang bermasalah.

Dan sekarang, Rumi mulai paham kenapa.

Bersembunyi di balik barisan pohon bonsai halaman rumahnya. Rumi meringkuk nyaris berbaring untuk menyembunyikan tubuhnya yang tidak seberapa ini.

"Mama udah balik? Mau ayah jemput?"

Dahi Rumi berkerut dalam. Ayah? Mama? Itu bukan panggilan yang biasa orang tuanya gunakan saat berada di rumah. Dan lagi, Rumi yakin betul bahwa bundanya tengah berada di dapur untuk mempersiapkan menu bekalnya besok pagi.

"Ngga kok, ngga ngerepotin. Ayah seneng malah kita bisa ketemuan bentar. Tunggu di sana ya, ayah mau jalan ini. Love you, Sayang."

Rumi berani bersumpah jika ia tidak ada niat untuk menguping atau apapun itu. Rumi hanya kebetulan sedang mencari bahan untuk tugas biologinya dan Davin tiba-tiba saja sudah berada di sana.

Saat siluet Davin sudah menghilang bersamaan dengan mobilnya. Baru saat itu Rumi berani keluar dari persembunyiannya, berlari menuju dapur untuk mengadukan apa yang baru saja ia dengar dan saksikan.

The Way Love GrowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang