Ch. 42

304 40 23
                                    

"Papa minggu depan mau nikah. Dateng atau ngga itu terserah kamu, urusan kamu."

Rumi yang tadinya sudah akan tertidur, kembali membuka mata dengan alis yang berkerut samar. "Nikah? Sama?"

"Indri."

"Kenapa papa ngga ngasih tau aku dari jauh-jauh hari?" Rumi yakin persiapan untuk pernikahan sudah sangat lama mereka rencanakan, tapi kenapa baru ini Rumi diberi tahu?

"Ngga penting, kamu mau dateng, mau ngga, bukan urusan papa. Lagian pendapat kamu juga ngga penting."

"Tapi aku masih anak papa, seenggaknya perlakuin aku sama kayak yang lainnya." Tuntut Rumi. Rumi tahu hidup memang tidak adil, tapi tidak seperti ini juga.

"Anak papa cuma dua dan kamu ngga termasuk di dalamnya." Devin menekankan kata-katanya. Tidak peduli juga pada  Rumi yang akan terluka atau tidak.

"Giliran sembunyi-sembunyi, yang papa bawa aku. Giliran semua udah pada nerima kehadiran Tante Indri, papa langsung ngebuang aku gitu aja. Yang dapet cubitan Tante Indri aku, yang disayang-sayang abang sama adek. Kalau papa ngga seneng ada aku di rumah ini, kirim aja aku tempat bunda!" Teriak Rumi. Belum kering makam bundanya dan Devin sudah akan menikah lagi? Rumi tidak paham, yang salah otaknya atau bagaimana.

Mengatupkan rahangnya menahan amarah, tamparan keras Devin layangkan begitu saja pada pipi anak keduanya. Bunyi nyaring langsung bergema memenuhi kamar dengan Rumi yang sudah kembali terduduk dan kepala yang tertunduk.

Sakit.

"Kalau bukan karna papa dan bunda, aku ngga bakal ada di sini. Aku ngga pernah minta buat jadi anak kalian, kalau kalian keberatan, balikin aja aku ke Tuhan." Bisik Rumi. Tidak ada yang bisa ia lakukan lagi, tenaganya sudah habis.

Benar-benar habis.

"Aku bener-bener benci papa."

__

Memeluk Anyon makin erat, Rumi menenggelamkan tubuhnya lebih dalam lagi memasuki selimut.

Arion tidak ada di sini. Suaminya itu tengah pergi ke puncak bersama anak-anak satu kantornya. Dan setiap Rumi ditinggal sendiri seperti ini, bayangan menyakitkan itu akan selalu kembali memasuki mimpinya.

Dengan jantung yang berdetak tak karuan, Rumi duduk bersandar pada kepala ranjang, ini masih pukul satu dan Rumi yakin jika Arion juga pasti tengah tidur.

Egois sekali Rumi jika ia harus memaksa menelfon suaminya itu pagi-pagi buta seperti ini.

"Tenang, besok mas balik. Bentar lagi." Menenangkan diri, kakinya ia bawa menuruni anak tangga, "aduh, bikin rujak enak kali ya ini."

**

"Mmh."

Mengukung tubuh Fara diantara tubuh besarnya dan dinding penginapan, lengan Arion tersampir rapi pada pinggang ramping itu.

"Kamu lama banget." Rengek Fara. Mengalungkan lengannya pada sekitaran leher Arion dan kembali menyambar bibir yang menjadi candu baginya itu.

"Aku harus mastiin yang lain dulu udah selesai atau belum."

Sesuai rencana mereka bulan lalu, Arion benar-benar mengadakan family gathering di puncak. Hanya dua hari satu malam sesuai dengan diskusinya bersama Gin dan juga Harris.

"Kamu sibuk banget. Buat ketemu aja susahnya minta ampun." Memeluk tubuh besar itu, Fara dengan pakaiannya yang entah kenapa begitu terbuka semakin menempel pada Arion.

The Way Love GrowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang