Ch. 15

181 27 14
                                    

Arion menatap Rumi yang saat ini tengah tertidur pulas di atas ranjangnya. Dengan tangan yang menopang dagu di atas meja, kepala Arion tengah memikirkan berbagai hal.

Semua hal tentang Rumi ini tertalu banyak menyimpan teka-teki jujur saja. Apa Arion satukan saja kamar mereka ya? Tapi Arion belum mencintainya.

"Sampai saat ini, aku masih begitu penasaran sama kamu. Kenapa mami keras kepala banget buat maksa aku?" Bisik Arion. Merapikan anak rambut Rumi yang beberapa sudah berpindah tempat menempel pada pipi yang sedikit berisi itu.

Suara ketukan pintu menyadarkan Arion, berjalan pelan menuju kayu coklat itu. Arion mendapati wajah Exu yang tengah tersenyum cerah, "yo?"

"Makan malam, udah ditunggu mami sama papi. Hurry up, Bro. I want to meet my sister."

"Sister in law." Koreksi Arion, ia harus tetap mempertahankan kekuasaannya sebagai pemegang jabatan anak pertama. Arion masih tidak ingin tersingkir.

"Yeah, whatever you call it." Mengibaskan tangannya, Exu segera berlalu menuruni anak tangga. Ia sudah sempat cuci muka dan juga berganti pakaian.

Setelah memastikan Exu benar-benar turun, Arion kembali masuk ke dalam kamar dan duduk pada tepi ranjang.

"Dek." Panggil Arion, kembali merapikan anak rambut Rumi seraya mencubit singkat hidung kecil itu.

Melenguh pelan, Rumi merubah posisinya hingga membelakangi Arion. Memeluk guling dan menyembunyikan wajahnya di sana. Aroma Arion begitu kuat dan Rumi menyukainya. Rumi merasa tenang saja.

"Dek, ayo bangun dulu. Mami udah manggil buat makan malam." Lagi, Arion mencolek pelan bahu Rumi yang berakhir dengan tubuh Rumi yang semakin menjauh darinya.

Tertawa singkat, Arion menarik lengan Rumi dan menyandarkan tubuh itu pada dadanya. Membiarkan Rumi mengumpulkan nyawa untuk beberapa saat sebelum ia mulai membawa Rumi turun. "Ayo, bangun dulu coba. Cuci muka, yang lain udah nunggu di bawah." Ulang Arion. Menangkup kedua pipi Rumi dan melayangkan satu kecupan singkat pada ujung hidung istrinya itu.

Menyandarkan dahinya pada bahu tegap Arion, Rumi hanya mendengung dengan tangan yang secara tidak sadar sudah melingkari pinggang pria dewasa itu.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

"Oalah, Mas. Maaf. Aku belum sadar." Meloncat turun dari ranjang, Rumi sesegera mungkin berjalan cepat menuju pintu. Masih dengan rambut yang berantakan dan wajah bantalnya.

"Pintu kamar mandi bukan yang itu, Sayang. Pinti kamar mandi di belakang mas ini." Menunjuk pintu di belakang tubuhnya, Arion tersenyum geli saat melihat wajah linglung Rumi.

"Oiya."

**

"Makan dulu, Sayang." Edlyn menarik dua anaknya untuk ikut bergabung di meja makan.

"Lama banget? Ngapain itu di atas?" Selidik Exu. Menatap Arion dan Rumi bergantian dengan alis yang naik-turun.

"Minta jatah, kenapa? Udah halal ini." Tantang Arion, duduk tenang di kursinya dan menatap Exu dengan mata yang memicing tipis.

"Beuh, parah betul." Alden menggeleng singkat, "frontal dan vulgar." Komentar Alden.

"Maaf ya Mi, Pi, Exu. Aku tadi susah dibangunin." Rumi merasa tak enak hati, pasti ia sudah membuat semua orang menunggu lama.

"Engga kok, Exu bercanda itu." Edlyn mulai mengambilkan nasi untuk Alden.

"Ih, ada woku!" Exu baru sadar, sedari tadi kan ia dan maminya sibuk membahas masa lalu Rumi. Tidak ada pikiran untuk memperhatikan setiap menu yang ada di atas meja.

"Aku cup satu." Arion sudah mengangkat tangan, walau di rumahnya ada. Sensasi makan di rumah bersama mami dan papinya ini akan berbeda.

"Kak Rumi mau apa? Ayam serundeng atau udang tepung?" Exu sudah bersiap untuk mencari muka di depan kakak iparnya. Masih tidak percaya akan cerita bodong yang Cherry katakan padanya. Memang wajah Exu terlihat semudah itu untuk dibodohi, Exu tersinggung ya jujur saja.

"Aku apa aja boleh kok, terima kasih." Dengan mata menyipit membentuk bulan sabit, Rumi tertawa pelan. Exu terlalu menggemaskan.

"Makan yang banyak ya." Alden menaruh satu paha ayam di ayas piring Rumi yang langsung di sambut hangat oleh gadis kecil itu.

"Terima kasih, Pi."

"Sama-sama."

Melirik Arion yang hanya mengangkat bahunya, Rumi menunduk singkat dengan senyum tipis. Jujur, Rumi senang. Setelah sekian lama, baru kali ini ia merasakan makan bersama di meja makan seperti ini. Walau sudut lain hatinya juga merasa sedih karena kenapa ia mendapatkan ini dari orang lain.

"Kak Rumi hati-hati, nanti ayamnya dimaling Kak Rion. Kakak udah ngintai-ngintai itu." Peringat Exu, menunjuk Arion yang langsung mengangkat kedua tangannya.

"Wah personal ini. Aku sibuk sama piringku, enak aja kamu nuduh-nuduh." Kesal Arion. Entah pada bagian mana dari gerak-geriknya yang terlihat mencurigakan di depan Exu.

"Kalian nginep?" Edlyn bertanya penuh harap. Menatap Rumi dan Arion yang langsung membuang muka menghindari tatapan maut itu.

"Engga, Mi. Pankapan aja. Sekarang belum bisa." Menyilangkan tangannya di depan dada, Arion menolak dengan wajah yang kalah memelas.

Menghela nafas lelah, Alden sudah cukup muak dengan drama ini jujur saja ya. Jika bukan karena makan malam, sudah Alden dan Exu tinggal saja sepasang ibu dan anak ini.

"Ah, kamu mah. Malesin banget!" Sungut Edlyn. Kembali fokus pada piringnya, Edlyn sadar. Bertanya pada Rumi juga tidak akan mempan, keputusannya pasti ada di tangan Arion.

**

Mengganti sepatu mereka dengan sendal rumah, Rumi masuk terlebih dahulu dan berjalan menuju dapur. Memindahkan buah tangan yang ia dapat dari rumah ibu mertuanya tadi ke dalam piring.

"Wah, udah lama banget ngga makan delima." Gumam Rumi. Menatap penuh damba pada buah berwarna merah itu dan tersenyum lebar. Lama sekali besok hari rasanya.

"Di rumah kamu ngga pernah beli delima kah?" Tanya Arion, membuka lemari pendingin dan mengambil satu botol minuman dari dalam sana.

Mengangguk semangat, Rumi menatap Arion yang masih bersandar pada pintu lemari pendingin. "Sering, tapi abang sama adek juga suka. Jadi aku harus ngalah dulu. Kalau ada lebihan baru buat aku." Jelas Rumi.

Hati mungil Arion tercubit jujur saja, entah untuk beberapa alasan Arion merasa menjadi manusia yang buruk saja setelah kata-kata 'mengalah'. Ia dan Exu saja masih sering adu sparing jika seperti itu.

"Nanti kalau itu udah habis kita beli lagi." Mengacak surai Rumi, Arion tersenyum lebar.

"Boleh?" Mata Rumi langsung berbinar penuh kilau.

"Boleh dong."

"Terima kasih." Senyum Rumi makin mengembang lebar, selama ini ia tidak pernah diberi pilihan dan untuk saat ini, Rumi benar-benar bersyukur dengan fakta bahwa ia bisa bersama Arion.

"Udah mau jam sepuluh, ayo tidur. Anak kecil ngga boleh begadang." Mengulurkan tangannya, Arion menunggu Rumi untuk menyambutnya.

"Ayo."

__

The Way Love GrowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang