44. Bibit Kebencian (1)

108 20 0
                                    

Izin dari Juna, mengantarkan Eisa ke kamarnya lagi. Awalnya Eisa ingin beristirahat, tetapi Tuan Gio tiba-tiba berlari ke arahnya dengan napas terengah-engah. Rambut pria yang biasa tertata rapi itu, kini terlihat tak beraturan. Bibirnya kering, dan di sudut bibirnya terlihat sebuah cairan merah. Kemeja pria itu ternoda oleh debu, dan tetesan cairan merah. Namun keadaannya saat ini tak menghentikan langkahnya untuk menemui Eisa.

"Nona! Nona!" panggil Tuan Gio.

Eisa mengernyitkan kening, lalu bertanya, "Ada apa? Apa ada masalah?"

Dengan wajah dipenuhi lebam, Tuan Gio menyerahkan sebuah surat ke telapak tangan Eisa. Dia menjawab, "Maaf. Maafkan saya. Saya tak memiliki waktu lagi!"

Setelah itu, Tuan Gio berlari menghindari Eisa secepat mungkin. Dari kejauhan, Eisa bisa mendengar suara para pengawal yang mengejar Tuan Gio. Lalu seterusnya, Eisa tak mendengar suara apa pun, selain rasa penasaran pada kertas pemberian Tuan Gio.

"Kertas apa in---" Mata Eisa memelotot, ketika membaca satu persatu kata yang ditulis Tuan Gio. Pria itu memberitahu tentang penghianatannya, penyebab kematian keluarga Eisa, dan rencana Juna ke depannya nanti.

Tanpa sadar, jantung Eisa terasa begitu sesak. Wanita hamil itu meremas kertasnya, dengan kening mengernyit. "B*jingan!"

Dalam pupil mata Eisa terlihat sebuah percikan api dendam, yang membuatnya meremas kertas di tangannya. Awalnya Eisa hanya ingin membebaskan dirinya dari rumah Juna. Namun, sekarang tangan Eisa ingin meremas-remas Juna, hingga menjadi serpihan kecil seperti kertas di tangannya. Dia terburu-buru mengambil kunci di vas bunga, lalu memasukkannya ke saku bajunya.

Rencana Eisa berubah, dan wanita itu terburu-buru keluar dari kamarnya. Para wanita penjaga berusaha meminta Eisa untuk tetap di kamar. Namun, kekangan mereka malah membuat Eisa mempercepat langkahnya untuk keluar dari kamar.  "Akan kubalas perbuatannya dengan tanganku sendiri," tekad Eisa.

•••

"Apa Eisa sudah tahu, jika kau pelaku pelenyapan keduanya?" tanya Juan.

Pertanyaan Juan memancing emosi Juna. Juna kembali berbalik, tetapi kali ini dia mengambil senjata api yang ada di tangan bawahannya. Setelah itu, Juna menarik kerah baju Juan, sembari berkata, "Siapa yang peduli dengan hal itu? Istrimu akan menjadi hiasan di rumahku, sama seperti wanita-wanita lainnya."

"Kau sepertinya tak tahu, jika aku selalu mendapatkan apa pun yang kumau, tanpa memikirkan kehidupan ataupun hubungan orang lain," bisik Juna dengan senyuman lebar.

Juan mengepalkan tangannya. Dinginnya senjata api yang saat ini Juna arahkan padanya, tak sepanas kepalanya saat mendengar Juna hanya ingin mempermainkan istrinya saja. Juan tak bisa berpikir jernih, dan terus merutuki kelemahan yang dia miliki saat ini.

Selama ini Juan terbiasa hidup dalam perlindungan sang ayah. Sampai akhirnya, dia kesulitan untuk beradaptasi melindungi diri ketika tak berada dalam jangkaun sang ayah. Juan pikir, dirinya sudah kuat, ketika sang ayah memberinya banyak pengawal. Namun, setelah para pengawal itu dilepas dari sisinya, Juan baru menyadari betapa lemahnya dia saat ini.

"Jangan permainkan istriku! Dia sedang mengandung! Kau seharusnya membalas dendam padaku saja, jangan libatkan Eisa!" pinta Juan.

Juna menekan senjata apinya ke leher Juan. Pria itu menatap tetesan darah pada hidung Juan, yang membasahi bibir sang adik. Setelahnya, dia menunjuk-nunjuk kening Juan dengan jemari tangannya, lalu berbisik, "Ini juga bagian dari balas dendamku. Aku senang, melihatmu patah hati untuk kedua kalinya, setelah Giselle meninggalkanmu."

"Kau seharusnya bersyukur, aku masih membiarkan istri dan anakmu hidup nyaman di rumahku. Jika kau masih memberontak, akan kub*nuh kalian sekaligus," ancam Juna.

•••

MAMAFIA  [Junhao] RepublishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang