15

11 3 0
                                    

Dariel melangkah perlahan, mencari cara untuk menghibur dirinya dari kekacauan emosional yang dia rasakan. Hingga seorang gadis nyaris terjatuh setelah membentur tubuhnya dengan keras. Tanpa pikir panjang, tangannya refleks menahan bahu gadis itu.

Gadis itu mendongak, menatapnya dengan mata hazel yang berair. Hidungnya mancung, dan tulang pipi tajamnya membentuk garis wajah yang memikat dan menarik perhatian. Meskipun wajahnya terlihat tegang dan penuh rasa sakit, keindahan fitur wajahnya tidak bisa dipungkiri.

Untuk pertama kalinya, Dariel melihat Krystal begitu dekat. Air mata yang membasahi matanya dan rona kemerahan di pipinya menggambarkan betapa beratnya beban emosional yang dia pikul. Wajahnya, yang biasanya ceria, kini menunjukkan kedalaman kesedihan yang mendalam.

Dariel merasakan rasa sakit yang mendalam dalam hati saat melihat Krystal dalam keadaan seperti ini. Dia tidak tahu apa yang terjadi, tapi dia bisa merasakan betapa hancurnya hati gadis itu.

"Krystal, apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?"

Dia menunggu jawaban, penuh keprihatinan, sambil tetap menahan bahu Krystal agar tidak jatuh lagi. Krystal menggeleng acuh lalu menghapus air matanya.

"Lepaskan! Beraninya kau menyentuhku?!" Sentaknya lalu berlalu melewati Dariel.

Namun dalam beberapa detik, dia menghentikan langkahnya dan kembali membalikkan tubuhnya.

Dariel membalikkan tubuhnya.

Silau. Wajahnya bersinar begitu terang, bak mantari yang bersinar. Matahari dibelakangnya nampak tersenyum memberikan sapaan salam pagi dalam kasih akan semburan cahaya kuning.

Aku berdiri terpaku, udara terasa lebih berat di antara kami. Tatapan matanya tajam, seolah bisa menusuk langsung ke jantungku. Bibir tipisnya tampak kaku, seakan-akan menahan badai kata-kata yang siap dilepaskan kapan saja. Setiap gerakannya penuh ketegangan, seperti tali busur yang siap ditembakkan, dan dalam kesunyian itu, aku bisa merasakan kekuatan di balik keheningan yang mencekam.

"Seperti para pinguin, mereka harus kuat menahan cuaca dingin untuk bertahan hidup. Anggap aku sebagai pinguin. Sekali saja.."

Krystal membuyarkan lamunannya.

"Itu kau, bukan?"

ಥ‿ಥ

Aku menatapnya dengan tajam, mencoba memberinya tatapan mengintimidasi di tengah gemuruh suara cangkir dan obrolan dari meja-meja sekitar. Cahaya remang-remang kafe membuat bayangan di wajahnya semakin sulit dibaca, tapi aku tetap fokus. Suara mesin kopi mendesis pelan di latar belakang, namun bagiku, hanya ada pria di hadapanku saat ini.

Aku ingin memastikan pria ini, dia yang menolongku. Jantungku berdegup lebih kencang, tapi aku menahannya, memastikan keteguhanku tak goyah. Dia duduk santai, tanpa ekspresi gentar, seolah tak terpengaruh oleh tatapanku. Tapi ada sesuatu dalam cara dia mengangkat cangkirnya, sesuatu yang kukenali. Meskipun wajahnya tampak berbeda, postur tubuhnya, caranya menatap sekitar, aku yakin, dialah orang yang pernah menolongku.

"Berhenti menatapku seperti itu! Kau membuatku takut!" Ujarnya.

Aku menyipitkan mataku.

"Dengar, apa yang kau lakukan waktu itu? Tepatnya saat aku hilang!" Tanyaku lantang.

"Bersamamu." Jawabnya santai lalu menyeruput kopi dihadapannya.

"Apa?"

Dia menatap lurus kearahku. membuatku memalingkan wajah lalu menyeruput minumanku.

"Langsung saja. Seperti yang kau pikirkan! Aku memang bersamamu!"

Aku terbatuk pelan.

Jadi memang benar dia, batinku.

"Aku pun nyaris mati karenamu!" Cetusnya.

Aku menghela nafas pelan.

"Apa motifmu?" Tanyaku.

"Tidakkah terlalu kasar pertanyaanmu? Harusnya kau cukup berterimakasih saja padaku!"

Aku memutar mataku malas.

"Tapi tetap saja! Kau pikir aku akan bersikap baik kepadamu setelah kau menyelamatkanku? Entah apa yang kau rencanakan!" Ketusku.

"Namun kuakui, kau sangat kuat meski jatuh dari ketinggian! Kau bahkan tidak sepenuhnya kehilangan kesadaran. Malam itu, kau sempat melihatku!"

Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.

"Benarkah? Dengar, aku tidak akan bersikap baik padamu meski kau telah menyelamatkanku! Jangan berpikir aku terkesan padamu! Kau sama sekali bukan tipeku!"

Dia mengangguk seolah mengiyakan.

"Hanya itu yang ingin kau tanyakan?" Tanyanya bersiap untuk beranjak dari duduknya.

Dia beranjak tanpa persetujuanku. Aku menahan lengannya.

"Terimakasih."

Aku tersenyum sekilas lalu beranjak dari dudukku dan melangkah keluar dari Cafe.

Aku melangkah keluar dari kafe, dan udara dingin langsung menyergapku. Pintu di belakangku menutup perlahan, meninggalkan kehangatan kafe yang segera digantikan oleh kesunyian malam yang dipenuhi udara segar. Ketika aku mengulurkan tangan, butiran salju jatuh dengan lembut, menyentuh kulitku. Rasa dinginnya menyentak, namun anehnya menenangkan.

Aku tertegun, memperhatikan butiran salju yang halus, seperti serpihan kecil dari langit yang jatuh dengan perlahan dan anggun. Mereka mendarat tanpa suara di telapak tanganku, begitu ringan dan rapuh, namun tampak sempurna. Setiap butirnya adalah keajaiban kecil, dan aku tak bisa menahan diri untuk terpesona oleh keindahan sederhana ini. Dalam keheningan itu, dunia seolah melambat, dan aku hanya berdiri di sana, menikmati momen yang begitu indah dan damai.

Dingin dan basah. Alam seketika menjadi pucat, tak ada rona musim gugur yang tertinggal, tidak ada kuning apalagi merah, hanya dingin sekaligus beku. Butiran-butiran putih itu tampak angkuh menjatuhi ranting hitam dan kurus milik zelkova tua yang berdiri tidak jauh dari Cafe de Prada.

Mataku berkaca-kaca menatap butiran salju yang turun mengenai tanganku.

"Wah, indahnya!"

FATE'S CRUEL KINSHIP (SELESAI)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang