29

9 4 0
                                    

Aku berpikir sejenak, mengenang masa lalu saat pertama kali bertemu dengan Dariel. Dariel adalah sosok yang selalu terlihat penuh percaya diri, mungkin terlalu percaya diri dan sering menunjukkan sikap yang tampak arogan di mataku. Setiap perkataannya seolah-olah dirancang untuk menyinggung atau membuat orang lain merasa kecil. Tak jarang, Dariel bertindak seolah-olah dia yang paling tahu segala hal, dan tak ada pendapat yang lebih benar dari miliknya. Itu membuatku semakin kesal setiap kali harus berinteraksi dengannya.

Setiap kali Dariel hadir, aku merasa jengkel. Entah karena sikap Dariel yang selalu berbicara dengan nada meremehkan, atau cara Dariel menyombongkan pencapaiannya tanpa memikirkan orang lain. Semua ini menimbulkan perasaan benci dalam diriku satu kebencian yang dalam, yang membuat narator berharap tidak pernah harus bertemu atau berurusan dengannya lagi.

Namun, seiring waktu, aku menyadari ada sisi lain dari Dariel yang tak terlihat sebelumnya. Mungkin ada momen ketika Dariel, tanpa disadari, ia selalu membantuku dalam situasi yang sulit.

Dengan berjalannya waktu, perasaanku mulai berubah. Apa yang dulu dianggap sebagai kesombongan, mungkin adalah cara Dariel menyembunyikan ketidakamanannya. Apa yang dulu terlihat sebagai sikap menyebalkan, mungkin adalah upaya Dariel untuk diterima atau dihargai. Kebencian yang dulu begitu kuat perlahan-lahan luntur, digantikan oleh rasa pengertian dan mungkin bahkan simpati.

Dulu kupikir aku benar-benar membencinya, batinku.

"Kau memikirkan sesuatu?" Tanyanya membuatku membuyarkan lamunanku.

"Apa? Tidak."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Dariel menghentikan sepedanya di depan sebuah kedai es krim pinggir jalan. Itu adalah tempat yang sederhana, jauh dari kesan mewah.

Aku memandangnya tak percaya. Dariel, putra tunggal sekaligus pewaris perusahaan besar Berkshire Hathaway Inc, mengajakku mampir ke kedai es krim kecil di tengah kota? Ini terasa tak masuk akal.

Dia turun dari sepeda dan berjalan santai menuju kedai, seolah-olah ini hal biasa baginya. Aku terpaku sejenak, sebelum akhirnya mengikutinya. Suasana kedai itu begitu hangat, penuh dengan tawa anak-anak dan aroma manis es krim yang baru saja dibuat.

"Es krim di sini tidak kalah dengan yang dijual di restoran mahal," katanya tersenyum, seperti membaca kebingunganku.

Dia berbicara dengan antusias, dan untuk pertama kalinya, aku melihat sisi Dariel yang lebih sederhana dan tulus.

Aku berdiri di sana, tak bisa berkata-kata, mulai menyadari bahwa Dariel yang ada di depanku ini jauh berbeda dari gambaran yang selama ini aku pegang. Perasaan benci yang dulu pernah begitu kuat kini terasa semakin jauh.

Aku mengikutinya masuk ke dalam kedai, masih merasa heran dengan pilihan tempatnya. Di dalam, suasananya sederhana, tapi penuh kehidupan. Dindingnya dipenuhi foto-foto pelanggan lama dan poster es krim berwarna cerah. Bau wafel yang baru dipanggang menyelimuti ruangan, membuatku sejenak melupakan kebingunganku.

Dariel berjalan menuju konter dengan langkah ringan. Ia memesan dua es krim cone dengan rasa klasik, vanilla dan cokelat. Aku masih berdiri di belakangnya, memperhatikan betapa nyamannya dia di tempat seperti ini, tanpa sedikit pun merasa risih.

"Kau sering ke sini?" tanyaku akhirnya, mencoba mencairkan suasana sambil menatap es krim yang kini ada di tangannya.

Dariel mengangguk sambil menyodorkan es krim vanilla padaku.

"Setiap kali bisa lepas dari semua kesibukan," jawabnya sambil tersenyum. "Ini tempat favoritku sejak kecil. Dulu, ayah sering membawaku ke sini setelah kami bersepeda keliling kota."

Aku tertegun. Mendengar kata-kata itu, gambaran Dariel yang selalu tampak angkuh di depan umum perlahan terkikis. Ada kerinduan dalam suaranya, dan aku bisa merasakan bagaimana tempat ini punya kenangan tersendiri baginya.

Kami duduk di bangku kayu yang menghadap ke jalan, menikmati es krim sambil menonton orang-orang berlalu lalang. Ternyata, aku mulai melihat sisi lain Dariel, sisi yang tidak pernah kutahu sebelumnya, sisi yang jauh lebih manusiawi daripada apa yang selama ini dia tunjukkan.

"Kau tahu," Dariel mulai berbicara lagi setelah beberapa saat hening, "terkadang orang-orang hanya melihat apa yang mereka ingin lihat. Sebenarnya, aku tidak peduli dengan semua yang mereka pikirkan tentangku. Tapi..rasanya sulit untuk benar-benar jadi diri sendiri."

Aku menatapnya dengan rasa ingin tahu yang semakin besar. Tidak pernah terpikir olehku bahwa Dariel, yang selalu terlihat penuh percaya diri dan tak tergoyahkan, menyimpan perasaan seperti itu.

"Maksudmu?" tanyaku, setengah berharap dia akan melanjutkan.

"aku selalu merasa harus selalu tampil kuat dan sempurna, apalagi dengan semua yang diharapkan dari diriku," lanjutnya dengan nada yang lebih rendah. "Orang-orang selalu melihatku sebagai pewaris perusahaan besar, tapi jarang yang melihat aku sebagai Dariel, seseorang yang hanya ingin menikmati hidup tanpa tekanan."

Kata-katanya membuatku tersadar betapa aku selama ini salah menilainya. Semua prasangka dan kebencian yang pernah kurasakan padanya terasa begitu dangkal sekarang. Dariel ternyata hanya seorang manusia biasa, yang ingin diterima dan dipahami sama seperti orang lain.

Aku tersenyum kecil sambil menggigit es krimku.

"Kau benar, kadang kita memang terlalu cepat menilai orang lain," kataku pelan, merasa sedikit malu dengan apa yang pernah kupikirkan tentangnya.

Dariel menatapku, lalu tersenyum hangat.

"Mungkin setelah ini, kau bisa menilaiku dengan cara yang berbeda," ucapnya dengan nada bercanda, tapi aku tahu dia serius.

Dan untuk pertama kalinya, aku melihat Dariel bukan sebagai sosok yang sombong atau menyebalkan, melainkan sebagai teman yang bisa dimengerti dan dihargai.

Oh, Astaga! Apa ini?, batinku.

Aku membuyarkan lamunanku, menyadari bahwa pikiranku barusan sudah mulai melenceng terlalu jauh. Apa yang kupikirkan tadi terasa berlebihan. Dariel mungkin memang tidak seburuk yang kukira, tapi jangan sampai aku membiarkan diriku menyukainya.

Aku menggigit es krimku dengan sedikit lebih keras, seolah mencoba mengembalikan diriku pada kenyataan. Semua yang terjadi hari ini mungkin hanya kebetulan, sesuatu yang seharusnya tak kubesar-besarkan. Aku tidak bisa membiarkan diriku terjebak dalam situasi yang membuatku kehilangan kendali atas perasaanku.

Dariel menatapku lagi dengan senyum kecil, entah apa yang ia pikirkan. Dia tampak begitu santai, menikmati suasana tanpa sedikit pun terlihat memikirkan apa yang sedang berkecamuk dalam kepalaku.

"Apa yang kau pikirkan?" Tanyanya.

"Tidak ada. Hanya menikmati es krim!" jawabku, berusaha terdengar biasa saja. Aku tidak akan membiarkan pikiranku melayang ke arah yang tidak seharusnya. Tidak kali ini.

FATE'S CRUEL KINSHIP (SELESAI)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang