Hari menjelang pagi, dan udara segar mulai terasa seiring matahari yang baru saja mulai terbit. Ini adalah hari libur sekolah, dan aku berniat untuk jogging dan menghirup udara pagi yang segar di luar sana.
Aku mengganti pakaian untuk sesi jogging pagi ini dengan crop top pink yang cerah, terbuat dari bahan yang ringan dan menyerap keringat dengan baik. Crop top ini memiliki potongan yang modern dan fit, memberikan kenyamanan dan kebebasan bergerak. Rambutku dikucir ke belakang dalam ponytail yang rapi, siap untuk menghadapi aktivitas fisik dengan gaya.
Setelah siap, aku mengendarai mobilku menuju Sirkuit Silverstone Park, sebuah sirkuit balap yang sering digunakan oleh orang-orang untuk jogging dan berolahraga. Jalanan menuju sirkuit ini dipenuhi dengan pepohonan yang mulai memancarkan warna hijau cerah di bawah sinar matahari pagi.
Setibanya di sana, aku parkir mobilku dan melihat beberapa pelari lain yang sudah memulai aktivitas mereka di trek yang membentang luas di depan mata. Sirkuit ini dikenal dengan lintasan yang mulus dan pemandangan yang menyegarkan, menciptakan suasana ideal untuk memulai hari dengan penuh energi.
Sebelum memulai lari pagi, aku melakukan pemanasan dengan serius untuk memastikan otot-ototku siap untuk aktivitas fisik. Aku mulai dengan peregangan ringan di dekat mobilku, menatap lanskap pagi yang indah di sekitar Sirkuit Silverstone Park.
Setelah pemanasan dan merasa siap untuk jogging, aku berjalan menuju area sirkuit, menikmati udara segar dan suasana pagi yang cerah. Langkahku mantap saat aku memulai jalan santai menuju trek. Namun, tiba-tiba aku melihat seorang anak laki-laki kecil melaju kencang ke arahku dengan scooternya. Sebelum aku bisa bereaksi, ia hampir menabrakku.
"AWASSS!!!!!"
Sekejap sebelum benturan terjadi, seseorang dengan cepat menarik lenganku. Aku terhuyung ke belakang, dan sebelum aku sempat menyadari apa yang terjadi, tangannya melingkar di pinggangku, menahan tubuhku agar tidak jatuh.
Aku terdiam sejenak, jantungku berdebar cepat. Saat aku mendongak, mata kami bertemu. Pandangannya tajam namun penuh perhatian, seolah waktu berhenti sejenak di antara kami. Detik itu terasa lama, dengan dunia di sekitar kami seakan menghilang untuk sesaat. Aku merasakan pegangan tangannya yang kuat namun lembut di pinggangku, dan hanya bisa terpaku, mencoba mencerna kejadian barusan.
Aku mengenal pria ini. Sungguh menyebalkan bagaimana ia selalu muncul di saat-saat tak terduga. Tangannya yang besar masih melingkar di pinggangku, mengunci tubuhku dengan cengkeraman yang kokoh. Matanya yang penuh percaya diri menyiratkan seolah-olah ia sedang menikmati situasi ini.
"Dariel,” aku mendesis, mencoba melepaskan diri dari pegangannya. “Kau selalu muncul di saat yang salah.”
Ia tersenyum tipis, tatapan usilnya tak pernah berubah.
"Selalu tepat waktu, menurutku,” balasnya sambil melonggarkan pegangannya.
Aku bisa merasakan betapa santainya dia, seolah-olah menyelamatkanku dari nyaris tertabrak scooter tadi adalah bagian dari rencananya.
"Aku tidak butuh bantuanmu,” kataku, mencoba menegaskan diri meski masih terkejut dengan kejadian barusan.
"Yakin?” Ia berkata dengan nada mengejek, masih menatapku dengan sorot matanya yang tajam.
Meski begitu, di balik candaannya, ada sesuatu yang membuatku terus memikirkan mengapa dia selalu saja ada di sekitarku.
"Kau terus mengikutiku. Apa rencanamu?" Ujarku.
"Berolahraga tentunya. Apa menurutmu?"
"Oh, Astaga! Kau sangat menyebalkan!"
Dariel tertawa pelan lalu menarik lenganku berlari menuju trek.
Kami akhirnya mulai berlari bersama, menyusuri trek di sepanjang sirkuit. Dariel berlari dengan kecepatan yang santai, dan meskipun awalnya aku masih merasa sedikit kesal karena dia tiba-tiba muncul, suasana segera berubah. Dariel mulai melontarkan lelucon-lelucon aneh yang benar-benar tak terduga, membuatku terpaksa menahan tawa di beberapa kesempatan.
"Kau tahu, kalau kita berlari cukup cepat, kita mungkin bisa menembus dimensi lain,” katanya dengan nada serius yang justru terdengar konyol.
Aku tak bisa menahan senyum dan tertawa kecil.
"Dimensi lain? Seperti apa? Tempat di mana kau akhirnya bisa diam?”
Dia hanya mengedipkan mata, sambil terus berlari di sampingku. Meskipun leluconnya kadang konyol, aku tak bisa memungkiri bahwa keberadaannya membuat jogging pagi ini terasa lebih ringan. Setiap kali aku mulai terfokus pada langkah dan ritme lari, dia selalu punya sesuatu yang membuatku tertawa lagi.
Dan meski aku tidak akan pernah mengakuinya di hadapannya, aku menikmati saat-saat ini bersamanya.
Dariel tiba-tiba menunjuk ke sebuah arah,
"Lihat, burung itu indah sekali," katanya dengan nada serius.
Tentu saja, aku penasaran dan menoleh ke arah yang dia tunjuk sambil berkata, "Di mana?"
Namun, begitu aku memalingkan wajah kembali, aku terkejut mendapati wajah Dariel yang sudah tepat di depanku, begitu dekat hingga hanya ada beberapa sentimeter di antara kami.
Senyumnya muncul perlahan, matanya menatapku dengan intens, seolah menikmati kejutanku. Aku terdiam, masih belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi. Wajahnya begitu dekat hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya.
"Kau tahu," katanya dengan suara lembut yang nyaris berbisik, "kau jauh lebih indah daripada burung itu."
Kata-katanya menggema di pikiranku, dan sebelum aku sempat merespons, rasa panas langsung menjalar ke pipiku. Jantungku berdebar kencang, begitu keras hingga aku bisa mendengarnya sendiri. Dalam satu gerakan refleks, aku spontan memundurkan tubuhku, menciptakan jarak di antara kami, sambil mencoba menenangkan diri.
Aku memukul lengannya.
"Kau berusaha menggodaku, huh? Beraninya kau!!"
Seruku.Aku memukul lengannya, tak peduli seberapa keras atau lembut pukulanku mengenai dia. meski wajahku masih panas akibat kejadian tadi. Aku terus memukul lengannya beberapa kali, mencoba menutupi rasa gugupku dengan tindakan yang terlalu berlebihan.
Dariel tertawa kecil, sama sekali tak terpengaruh oleh pukulanku.
"Hei, hei, Aku bercanda, jangan terlalu serius!" katanya sambil mengangkat tangan seolah membela diri, tapi senyumnya masih tak hilang dari wajahnya.
Aku menghela napas, berusaha menenangkan debaran di dadaku, sambil tetap melanjutkan pukulan terakhir yang lebih lemah.
"Kau benar-benar menyebalkan, Dariel," gumamku, meski bibirku sedikit tertarik membentuk senyum.
Rasanya dia selalu tahu cara untuk mengacaukan pikiranku, dan meskipun aku kesal, aku tak bisa menyangkal bahwa kehadirannya membuat hariku sedikit lebih berwarna.
"Kau benar-benar kuat!" Ujarnya sambil menggosok lengannya meski aku tahu pukulanku tidak benar-benar menyakitinya. Senyumnya terus terukir, seolah dia puas telah berhasil memancing reaksiku.
Aku mendengus, mencoba mengembalikan keseimbangan emosi yang tadi terganggu oleh kejutannya.
"Jika kau terus seperti ini, aku akan berlari lebih cepat untuk menghindarimu,"
KAMU SEDANG MEMBACA
FATE'S CRUEL KINSHIP (SELESAI)✅
Teen Fiction"Cinta ini salah," suaranya bergetar, hampir tenggelam dalam gemuruh ombak kecil. Namun, cinta di matanya tak bisa dipadamkan. "Tapi aku tak bisa berhenti mencintaimu," jawab yang lain, dengan desahan putus asa, seperti seseorang yang sudah lama ter...