Aku kembali ke rumah dengan perasaan berat yang tak kunjung hilang. Rasanya kepalaku penuh dengan pertanyaan, dan tubuhku seolah kehilangan energi untuk sekadar melangkah. Ketika pintu rumah terbuka, pelayan menyambut dengan hormat, wajahnya tetap tenang meskipun mungkin dia merasakan ketegangan yang menggantung di udara.
"Nona Krystal, Tuan Joseph sedang menunggu Anda di ruang kerjanya," katanya sopan.
Aku mengangguk tanpa berkata apa-apa, pikiranku masih tertinggal pada percakapan yang baru saja kualami dengan Eve. Rasanya seperti semua fondasi kehidupanku selama ini hancur begitu saja, dan kini aku harus berhadapan dengan ayahku—pria yang selama ini kuanggap sebagai pelindung, kini menjadi sosok yang penuh dengan rahasia yang begitu kelam.
Dengan langkah berat, aku berjalan melewati lorong-lorong rumah yang begitu megah namun terasa hampa. Lantai marmer berkilauan di bawah cahaya lampu kristal yang menggantung di langit-langit, menciptakan kesan mewah yang seolah-olah tidak ada masalah di dunia ini. Tapi di balik keindahan itu, ada luka yang begitu dalam yang tak bisa disembunyikan oleh kemewahan apapun.
Saat sampai di depan pintu ruang kerja ayah, aku berhenti sejenak. Ruangan ini adalah salah satu bagian rumah yang paling jarang kumasuki. Biasanya, ruangan ini tertutup rapat, tempat ayah bekerja dan berpikir dalam kesunyian. Tanganku menyentuh gagang pintu, tapi aku ragu untuk membukanya. Apa yang akan terjadi di balik pintu ini? Apakah aku siap untuk mendengar kebenaran yang mungkin akan lebih menyakitkan daripada kebohongan yang sudah kuketahui?
Akhirnya, dengan napas yang teratur, aku memutar gagang pintu dan mendorongnya perlahan. Pintu itu membuka dengan lembut, menampakkan ruang kerja ayah yang besar dan mewah. Ruangan itu tertata dengan sangat rapi, penuh dengan buku-buku tebal yang berjajar di rak-rak kayu mahal, lukisan-lukisan klasik menghiasi dindingnya, dan karpet Persia yang lembut membungkus lantai. Cahaya lampu gantung kristal yang terpantul dari dinding kaca memberikan sentuhan elegan, membuat ruangan itu terlihat lebih seperti sebuah perpustakaan pribadi yang elegan daripada sekadar ruang kerja.
Di tengah ruangan, meja kayu besar terbuat dari mahoni mengilap terletak menghadap jendela besar yang menyajikan pemandangan taman belakang yang luas. Di depan jendela itu, ayahku berdiri tegap, punggungnya menghadapku. Tubuhnya tampak kokoh seperti biasa, tapi ada aura kelelahan yang terpancar dari posturnya. Bahkan dari jarak ini, aku bisa merasakan berat beban yang dia pikul.
Aku berjalan pelan ke sofa kulit mewah yang ada di salah satu sudut ruangan. Sofa itu terasa sangat nyaman saat aku duduk, tapi hatiku tetap gelisah. Aku menatap ayah yang masih diam menghadap jendela, tak bergeming sedikit pun. Sejenak, aku merasa ingin kembali berdiri dan meninggalkan ruangan ini—takut akan apa yang akan dikatakannya. Tapi di saat yang sama, aku tahu aku butuh jawaban.
Setelah beberapa saat keheningan yang panjang, ayah akhirnya berbicara.
"Krystal," suaranya rendah dan tenang, namun terdengar jelas di seluruh ruangan yang sunyi,
"aku tahu kau sudah mendengar sebagian dari cerita ini. Mungkin bahkan lebih dari yang seharusnya kau ketahui saat ini. Dan aku menyesal karena aku tidak pernah cukup berani untuk membicarakannya langsung denganmu."
Dia berhenti sejenak, masih memandang keluar jendela. Aku bisa melihat bahunya yang besar bergerak pelan seiring dengan napasnya yang terdengar berat.
"Ada sesuatu dalam diriku yang... yang tidak pernah bisa kukendalikan sepenuhnya," lanjutnya dengan suara yang sedikit bergetar.
"Penyakit ini, Krystal... penyakit yang membuatku kehilangan kendali atas amarahku. Itu datang tanpa peringatan, seperti badai yang tiba-tiba. Dan ketika itu terjadi, aku... aku menjadi seseorang yang tidak kukenal, seseorang yang tidak ingin kau kenal."
KAMU SEDANG MEMBACA
FATE'S CRUEL KINSHIP (SELESAI)✅
Jugendliteratur"Cinta ini salah," suaranya bergetar, hampir tenggelam dalam gemuruh ombak kecil. Namun, cinta di matanya tak bisa dipadamkan. "Tapi aku tak bisa berhenti mencintaimu," jawab yang lain, dengan desahan putus asa, seperti seseorang yang sudah lama ter...