41

1 0 0
                                    

Suara guru terdengar jelas di seluruh ruangan kelas, menarik perhatian para siswa yang sebagian tampak fokus dan sebagian lagi asyik dengan pikirannya masing-masing.

"Baiklah, Semuanya, hari ini kita akan membahas tentang teori relativitas khusus yang dikemukakan oleh Albert Einstein. Teori ini menjelaskan bahwa kecepatan cahaya dalam ruang hampa adalah konstan dan tidak bergantung pada gerakan sumber cahaya atau pengamat."

Guru melangkah ke papan tulis, menggambar sebuah diagram sederhana.

"Misalnya, bayangkan sebuah kereta api yang bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Jika Anda berada di dalam kereta dan menyalakan senter, cahaya dari senter itu akan tetap bergerak dengan kecepatan yang sama bagi Anda, maupun bagi orang yang melihat dari luar kereta. Ini disebut invarian kecepatan cahaya."

Beberapa siswa mulai menulis catatan, sementara yang lain terlihat bingung. Guru itu tersenyum, mencoba menjelaskan dengan lebih sederhana.

"Sederhananya, menurut teori relativitas khusus, waktu dan ruang tidak lagi mutlak, melainkan relatif, tergantung pada gerakan pengamat. Itu sebabnya kita punya konsep dilatasi waktu, di mana waktu dapat melambat bagi objek yang bergerak cepat dibandingkan dengan objek yang diam."

Ia menatap kelas, berharap semua murid dapat mengikuti penjelasannya. "Apakah ada yang punya pertanyaan sejauh ini?"

Aku mengangkat tangan, menarik perhatian guru.

"Ya, Krystal? Ada yang ingin kau tanyakan?" tanya guru itu dengan nada ramah.

Aku menarik napas sejenak sebelum bertanya, "Jika waktu bisa melambat untuk objek yang bergerak cepat, seperti yang anda jelaskan, apakah itu berarti seseorang bisa 'bepergian ke masa depan' dengan cara tertentu?"

Guru itu tersenyum, tampak senang dengan pertanyaan yang diajukan.

"Pertanyaan yang bagus, Krystal. Dalam teori relativitas khusus, memang benar bahwa waktu dapat melambat bagi seseorang yang bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya, jika dibandingkan dengan waktu yang dialami orang lain yang diam. Ini disebut 'dilatasi waktu'."

Ia melanjutkan, "Secara teori, jika seseorang bisa bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, waktu bagi mereka akan berjalan lebih lambat daripada bagi kita yang tetap diam. Jadi, ketika mereka kembali, mungkin mereka merasa hanya beberapa tahun telah berlalu, sementara di bumi mungkin sudah puluhan atau bahkan ratusan tahun."

Guru itu berhenti sejenak, memastikan semua siswa mengerti.

"Namun, ini lebih seperti 'perjalanan waktu ke depan'. Untuk 'kembali ke masa lalu', itu cerita yang berbeda dan masih belum ditemukan cara ilmiah yang dapat mewujudkannya. Jadi, meskipun secara teori mungkin bisa ke masa depan, kita belum punya teknologi untuk mencapainya."

Ia tersenyum kepadaku. "Semoga itu menjawab pertanyaanmu?"

Aku mengangguk paham dan tersenyum tipis, merasa puas dengan penjelasan yang diberikan. Rasanya aneh memikirkan konsep waktu yang bisa melambat atau bahkan mempercepat hanya karena seseorang bergerak cepat. Aku melirik sekeliling kelas, melihat beberapa teman sekelasku yang tampak tercengang atau justru bingung mendengar penjelasan tadi.

"Thanks, sir!"kataku sopan.

Guru itu mengangguk balik, tampak senang melihat minatku dalam pelajaran. Aku meraih macbookku dan mencatat beberapa hal disana, merasa bahwa hari ini setidaknya aku mempelajari sesuatu yang baru.

Toktoktok

Pintu kelas terbuka sedikit, dan seorang siswa masuk, mengetuk pintu dengan sopan. Semua kepala di dalam kelas langsung menoleh, termasuk aku. Ketika aku melihat siapa yang berdiri di sana, jantungku seakan berhenti berdetak sejenak.

Dariel.

Dia berdiri dengan santai namun sopan, mengenakan seragamnya dengan sempurna, rambutnya yang gelap teratur rapi. Matanya langsung bertemu dengan mataku sebelum dia beralih pada guru yang tengah berdiri di depan kelas.

"Maaf mengganggu, sir. Bolehkah saya mengikuti kelas ini? Saya tak sempat mengikuti kelas sesuai jadwal,"katanya dengan nada tenang namun penuh wibawa.

Guru itu menatap Dariel sejenak, lalu mengangguk.

"Silakan masuk, Dariel. Cari tempat duduk yang masih kosong."

Dariel mengangguk sopan dan mulai melangkah masuk. Saat dia mendekat, aku berusaha menundukkan kepala dan berpura-pura sibuk dengan catatanku, meski aku tahu semua orang di kelas pasti memperhatikannya. Langkahnya semakin mendekat, dan dia memilih tempat duduk tepat di belakangku.

Aku bisa merasakan kehadirannya yang begitu dekat, dan tiba-tiba, suasana di dalam kelas yang semula tenang menjadi lebih menegangkan.

Aku merogoh sakuku saat merasakan getaran singkat dari handphone. Kubuka layar dan sebuah pesan singkat dari Jeff muncul.

Kau yakin baik-baik saja?

Aku menoleh ke arah Jeff, yang duduk hanya beberapa bangku di sampingku. Tepat di sampingnya, Dariel. Aku bisa merasakan tatapan Dariel yang tak lepas dariku, seolah menunggu tanda-tanda dari ekspresiku. Tapi aku berusaha keras untuk tidak memperlihatkan apapun yang bisa memberikannya harapan.

Aku menatap Jeff sejenak, menganggukkan kepala pelan sambil tersenyum tipis, memberi isyarat bahwa aku baik-baik saja. Jeff membalas senyumanku, meski raut khawatir di wajahnya masih belum benar-benar hilang.

Aku mengalihkan pandanganku kembali ke macbookku, berusaha sekuat tenaga untuk fokus pada apa yang dijelaskan guru di depan kelas. Namun, aku tak bisa menahan diri untuk tidak merasakan ketegangan yang datang dari arah Dariel. Dia masih menatapku. Aku tahu itu. Tapi aku terus menahan diri, menolak untuk menoleh ke arahnya.

Ada perasaan hampa yang menghimpit dadaku. Dariel, yang begitu dekat secara fisik, terasa begitu jauh. Aku ingin sekali menatapnya dan mengatakan semuanya, tetapi ada tembok tinggi yang kubangun di antara kami.

Dan aku tahu, jika aku menatapnya, semua kekuatan yang kupunya bisa runtuh begitu saja. Jadi, aku tetap menunduk, mengalihkan perhatian pada Macbookku, berusaha keras mengabaikan segala perasaan yang berkecamuk di dalam hatiku.

FATE'S CRUEL KINSHIP (SELESAI)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang