Panasnya matahari di siang hari mulai menusuk kulit perlahan saat kami duduk di bangku taman dekat sirkuit. Sinarnya yang hangat membuat suasana menjadi nyaman, meskipun aku bisa merasakan suhu yang semakin meningkat. Kami berdua bersantai, menikmati istirahat sejenak setelah jogging yang cukup melelahkan.
Di hadapan kami, sungai Rhine membentang luas, airnya berkilauan di bawah sinar matahari. Keduanya berkilau dengan warna biru kehijauan, dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun di tepiannya. Ada ketenangan di pemandangan itu, seolah menawarkan pelarian dari kesibukan sehari-hari.
Dariel duduk di sampingku, tampak rileks dengan tangan yang bersandar di bangku. Dia mengamati sungai dengan mata yang tampak penuh refleksi. Aku menatap pemandangan yang sama, mencoba menghilangkan jejak dari pembicaraan sebelumnya yang masih mengganggu pikiranku.
"Ada sesuatu yang menenangkan tentang sungai ini, bukan?" ucap Dariel akhirnya, suaranya lembut dan reflektif.
"Ya," aku setuju. "Terkadang, melihat sesuatu yang besar dan tidak bergerak seperti ini bisa membuat segala sesuatu terasa lebih kecil dan lebih mudah dihadapi."
Dariel menoleh ke arahku, senyum kecil di wajahnya.
"Betul sekali. Kadang-kadang, kita butuh perspektif baru untuk melihat segala sesuatu dengan cara yang berbeda."
Kami terdiam sejenak, menikmati momen tenang itu. Panas matahari terasa semakin menyenangkan saat angin lembut menyapu wajah kami. Ada rasa kedekatan dalam keheningan ini, yang membuatku merasa nyaman meski masih ada kerumitan yang belum sepenuhnya terpecahkan antara kami.
"Pernahkah kau berpikir tentang semua tempat yang bisa kau kunjungi suatu hari nanti?”
Aku menoleh ke arahnya, sedikit terkejut oleh arah percakapan yang baru.
"Maksudmu, seperti tempat-tempat yang jauh dari sini?”
" Ya, seperti kota-kota yang belum pernah kau ihat atau pantai-pantai yang belum kau kunjungi,” jawabnya. "Terkadang aku merasa bahwa dunia ini terlalu besar untuk hanya tinggal di satu tempat.”
Aku memikirkan ucapannya, merasa sedikit melamun. “Ada banyak tempat yang ingin kukunjungi. Tapi seringkali, rasanya sulit untuk benar-benar membuat rencana.”
Dariel mengangguk, seolah memahami.
"Terkadang kita terlalu terjebak dalam rutinitas, Mungkin kita perlu lebih banyak momen seperti ini, untuk memikirkan hal-hal yang sebenarnya kita inginkan.”
"Ya," kataku, sambil tersenyum.
"Dan mungkin, aku bisa memulai dengan menjelajahi lebih banyak tempat di sekitar sini sebelum merencanakan perjalanan yang lebih jauh.”
Dariel tersenyum kembali.
"Sama seperti sungai ini, terkadang kita hanya perlu menikmati perjalanan kecil sebelum memikirkan yang besar." Ujarnya.
Aku memandang sungai Rhine lagi, merasakan kedamaian dari pemandangan itu.
"Kau benar. Terkadang hal-hal kecil justru memberikan perspektif yang paling berarti.”
Perhatian kami tiba-tiba tertuju pada anak laki-laki kecil yang tadi nyaris menabrakku dengan scooternya. Sekarang, dia duduk di tanah, menangis sesenggukan. Ibunya, dengan tampak cemas, sedang mencoba menenangkannya sambil mengusap-usap lutut anaknya yang tampaknya terluka.
Dariel memandang pemandangan itu dengan rasa prihatin.
"Sepertinya dia agak kesakitan," katanya dengan nada lembut. “Ibunya pasti sangat khawatir.”
Aku hanya mengangguk, tetapi hatiku terasa berat saat menatap mereka. Ada sesuatu dalam kedekatan antara ibu dan anak itu yang mengganggu pikiranku, mengingatkan pada kehilangan yang kurasakan. Aku mengalihkan pandangan ke arah lain, mencoba menyembunyikan perasaanku.
Dariel menyadari perubahan dalam diriku dan bertanya dengan lembut.
"Ada yang salah? Kau tampak sedih.”
Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan suara yang hampir bergetar.
"Hanya melihat mereka, aku merasa sedih. Aku merasa teringat pada ibuku yang pergi tanpa mengajakku. Aku tidak pernah merasakan kedekatan seperti itu.”
Dariel menatapku dengan penuh empati.
"Aku mengerti mengapa itu bisa menyakitkan. Kadang-kadang, kita hanya perlu waktu untuk benar-benar memproses perasaan kita, terutama tentang hal-hal yang sangat pribadi seperti ini.”
Aku mengangguk, menatap pemandangan ibu dan anak itu lagi.
"Ya, mungkin aku hanya merasa kehilangan kesempatan yang tidak pernah bisa kukembalikan. Kadang, melihat orang lain yang memiliki hal-hal yang seharusnya aku miliki membuatku merasa lebih jelas tentang apa yang hilang.”
Dariel meletakkan tangannya di bahuku dengan lembut.
"Tidak ada yang salah dengan merasakan apa yang kau rasakan. Terkadang, hal-hal kecil seperti ini bisa membuat kita lebih sadar akan kekurangan yang ada dalam hidup kita. Tapi ingat, ada orang-orang di sekitarmu yang peduli, dan itu juga penting.”
Aku menatapnya, merasa sedikit terhibur oleh kata-katanya. Dia tersenyum dengan lembut.
Tanpa memberi kesempatan untuk menolak, Dariel tiba-tiba meraih tanganku dan menarikku berdiri.
"Ayo, kita harus pergi!" Ajaknya dengan semangat yang tiba-tiba muncul, mencoba mengalihkan perhatianku.
Aku hanya bisa mengikuti langkahnya saat dia membawa kami ke sebuah persewaan sepeda di taman. Kami tiba di tempat yang ramai dengan berbagai jenis sepeda, dan Dariel langsung menuju salah satu sepeda tandem yang tersedia.
"Naiklah, Kita perlu sedikit bergerak agar pikiranmu lebih segar.”
Aku membelalakkan mataku.
"Aku… aku belum pernah naik sepeda tandem sebelumnya," kataku, sedikit ragu sambil memandang sepeda yang tampak agak asing bagiku.
"Jangan khawatir, Aku akan membantumu. Naik saja dan pegang pinggangku supaya tidak jatuh.”
Aku mengikuti instruksinya dan duduk di belakang Dariel, memegang pinggangnya dengan erat.
Ketika dia mulai mengayuh sepeda, aku merasakan kecepatan perlahan yang mengalir, dan angin segar mulai menyapu wajahku. Pemandangan sungai Rhine yang membentang luas di depan kami tampak lebih hidup dalam gerakan ini.
"Rasakan anginnya,”kata Dariel dengan gembira. "Kadang, hanya dengan bergerak dan menghirup udara segar, perasaan kita bisa berubah.”
Aku mengangguk, menikmati sensasi baru ini.
Dia tersenyum, memutar kepala sedikit untuk menatapku."Kita hanya butuh sedikit perubahan pemandangan untuk merasa lebih baik. Dan, dengan sepedanya ini, kita bisa melihat semua keindahan yang ada di sekitar kita.”ujarnya.
Kami terus berkeliling di sepanjang tepi sungai, melewati pepohonan dan lapangan hijau. Setiap kayuhan sepeda terasa membebaskan, mengalihkan pikiranku dari kesedihan yang tadi menghampiri. Dariel mengarahkan sepeda dengan terampil, dan suasana yang ceria membuatku merasa lebih ringan.
"Sepertinya kau sudah mulai lebih baik,”Dariel berkomentar, menatapku dengan puas.
Aku tersenyum, merasa lebih baik dari sebelumnya.
"Ya, rasanya seperti beban di bahuku sedikit terangkat.”
"Bagus," katanya sambil terus mengayuh.
Kami terus berkeliling, menikmati momen ini. Dalam perjalanan ini, aku merasakan kedekatan yang berbeda dengan Dariel, lebih dari sekadar percakapan atau lelucon, tetapi juga dalam dukungan dan perhatian yang tulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
FATE'S CRUEL KINSHIP (SELESAI)✅
Fiksi Remaja"Cinta ini salah," suaranya bergetar, hampir tenggelam dalam gemuruh ombak kecil. Namun, cinta di matanya tak bisa dipadamkan. "Tapi aku tak bisa berhenti mencintaimu," jawab yang lain, dengan desahan putus asa, seperti seseorang yang sudah lama ter...