After Years

145 20 2
                                    

Aku melihat kertas hasil pre test yang di yang ditempelkan di pintu ruang kelas kami. 

Matematika - 90

Kimia - 93

Inggris - 95

Biologi - 94

Fisika - 70

Aku meraih peringkat ke empat di kelasku dikarenakan nilai fisika ku cukup rendah. Jujur saja menurutku semakin hari materi pelajaran fisika semakin berat, jika dibandingkan dengan semester sebelumnya nilaiku tak kunjung membaik. Jika aku benar ingin masuk ke Fakultas Kedokteran Udayana tanpa test maka ini bukan hal yang baik. Bisa bisa aku tak memiliki kesempatan untuk itu.

Aku menghela nafas panjang. Aku sangat kecewa pada diriku sendiri.

Kuperhatikan ruangan kelas kami, sudah kosong.  Ini sudah pukul 5 sore, teman temanku yang lain sudah meninggalkan ruangan kelas. Gio dan Rene pun sudah pamit duluan karena cukup lelah dengan pre test hari ini,

Aku sendirian di kelas saat ini. 

Kubuka kembali kertas ujian fisika milikku, aku melakukan banyak kesalahan pada soal -soal vektor dan kinematika. Kuambil buku catatan fisika ku, untuk menemukan cara yang benar untuk mengerjakan soal soal tersebut.

Karena terlalu larut dalam mengerjakan soal, tanpa kusadari waktu sudah berlalu cepat sampai pintu kelas ku diketuk oleh Pak Tono "Ayo pulang, ruangan uda mau ditutup" Pak Tono sedang patroli keliling lingkungan sekolah.

Kuperhatikan jam tanganku sudah pukul 19.30. "Ahh iya pak, ini saya beres beres dulu" ucapku. Pak Tono mengangguk "Hati hati ya mba Oliv" lalu pak Tono berlalu, melanjutkan patrolinya.

Kubereskan buku buku yang ada di  atas meja dan kumasukkan kembali ke tas ku. Setelah semuanya beres, lampu ruangan kelas kumatikan dan aku pun keluar  dari ruangan. 

Aku mengitari lorong sekolah menuju pintu keluar dan kebetulan arah pintu keluar harus melewati ruangan kelas XI IPA 1, kelasnya Sandy. 

Hasil ujian pre test mereka juga sudah keluar, aku berhenti tepat di pintu masuk kelas XI IPA 1 dimana hasil ujian mereka ditempelkan. Sesuai dugaan, Sandy ada di peringkat pertama dengan nilai hampir sempurna. 

Matematika 100, Kimia 98, Biologi 100, Bahas Inggris 100, Fisika 100. 

Sedikit sedihku hilang melihat hasil ujiannya, ahh dia sangat keren dan aku sangat bangga padanya. Sandy selalu membanggakan.

"Loh Liv kamu belum balik?" suara Ste mengagetkan ku. Ia datang dari belakangku memakai seragam basket, pakaiannya basah karena keringatan. Aku tak sadar ternyata masih ada orang lain si sekolah selain aku malam ini. 

"Hei, iya ini mau balik" jawabku, kami sudah berdiri berhadapan. 

Di belakang Ste, anak basket lainnya mulai bermunculan. Beberapa dari mereka yang kukenal melambaikan tangan menyapaku termasuk Jere. Seperti halnya Ste, ia terkejut aku masih ada di sekolah.

"Gara gara hasil pre test pasti, uda gak apa apa kan masih pre test juga" Jere mencoba menghiburku. "Nilai fisika kita juga gak bagus, soalnya emang rada sulit" Jere menepuk pundakku, menyemangati. Aku hanya mengangguk. 

Tak lama kulihat Sandy berjalan ke arah kami bersama Danny, ketua tim basket sekolah kami. Mereka sepertinya sedang membahas sesuatu sampai Sandy sepertinya tak sadar ada aku disana. Namun saat ia hendak melewati aku, Jere, dan Ste.. akhirnya ia sadar keberadaanku. Ekspresi wajahnya terlihat sedikit heran melihatku. Namun aku hanya tersenyum padanya sebelum ia berlalu menuju ruangan kelasnya bersama Danny.

"Minta bantuan Sandy gih!" Ste berbisik padaku. "Iyasih, minta bantuan dia aja. Lihat tuh nilai fisikanya 100" Jere menambahi

Aku menggeleng "Dia uda sibuk banget, lagian aku siapa juga ngerepotin begitu" 

Kutepuk pundah mereka berdua "Yauda aku balik dulu yaaa. Byeee!!!" kulambaikan tanganku pada mereka, Jere dan Ste melakukan hal yang sama. "Hati hati di jalan Liv!" aku mendengar Ste setengah berteriak. Aku mengacungkan jempol sambil tetap berjalan.

Aku berjalan ke arah parkiran motor. Motor scooter ku masih ada disana bersama beberapa motor lainnya. "Let's go home" aku berbicara pada diriku sendiri. 

Saat motor sudah kunyalakan tiba tiba ponsel ku berdering. "Hmm?" aku keheranan. Kuambil ponsel ku dari dalam tas.

ringing : sandy alexander wijaya

"Sandy???" aku sangat terkejut melihat namanya di ponselku

Untuk sepersekian detik jantungku berdetak lebih cepat, ini pertama kalinya Sandy menelepon ku. Kami nyaris tak pernah berhubungan via telepon kecuali tahun lalu saat papa menyuruhku mengiriminya pesan kepadanya terkait obat mama. Saat itu handphone tante Ira, mamanya Sandy hilang. Jadi aku mengirimi pesan ke tante Ira melalui Sandy.

"Halo?"  aku mengangkat panggilannya

"Kamu uda balik?" 

"Masih di parkiran, kenapa Sandy?"

"Ohh.." ucapnya... lalu tak mengatakan apapun untuk beberapa saat, sebelum ia  melanjutkan "tunggu disana"

"Oke" hanya itu yang kukatakan saking terkejutnya

Aku masih terduduk di atas motorku dengan helm yang sudah kupakai, namun aku terdiam karena mencerna apa yang baru terjadi. Kuperhatikan ponselku, ada namanya disana. For the first time. 

Aku memukul helm ku pelan "Berhenti mikir macem macem. Kontrol diri" kuucapkan kalimat itu pada diriku berulang kali. "Kami adalah teman sekarang, teman"

Sekitar 5 menit setelahnya, aku melihat Sandy setengah berlari ke arahku. 

Aku masih duduk di atas motor, Sandy berhenti dihadapanku lalu menyodorkan tangannya. "Kunci motor nya"

Aku tak paham

"Motor aku lagi rusak, kebetulan kita searah jadi aku pulang nebeng kamu aja. Is that okay?" tanyanya

"Ohh.. kirain tadi apa" 

"Kirain apa?"ia menanyaiku balik

"Engga" jawabku cepat

 Tangan masih ia sodorkan padaku. "Yauda sini. Kamu turun, biar aku yang bawa motornya"

Tak ada orang lain di parkiran hanya kami berdua jadi mungkin hal ini tak apa apa buat Sandy

Aku turun dari motor, kuserahkan kunci padanya

Saat helm akan kulepas, Sandy menahan helm yang ada di kepalaku dengan tangannya. "G usah dilepas. Pakai aja" ucapnya lalu menaiki motorku dan sekarang yang bisa kulihat hanya punggung nya.

"Ayo naik" ucapnya padaku saat mesin motor sudah ia nyalakan. "Oke" jawabku lalu mengambil posisi duduk di belakangnya

Motor melaju meninggalkan parkiran. Di gerbang sekolah, Pak Tono sedang berdiri dengan kopinya. "Loh tumben akur" ia melihat kami heran.

Aku hanya bisa tersenyum

"Balik dulu Pak" ucapku sambil melambaikan tangan pada Pak Tono

Pak Tono  membalas melambaikan tangan pada kami "Iya hati hati, gitu loh yang akur" 

Aku tertawa mendengar ucapan Pak Tono

"Padahal kita ga pernah berantem ya" aku mendengar suara Sandy

"Tapi juga ga pernah ngobrol" ucapku dengan suara rendah. Sandy tak mengatakan apapun, ia hanya mengangguk beberapa kali. 

Motor melaju dan aku bisa merasakan angin malam Denpasar yang menyegarkan. 

Ini adalah kali kedua Sandy dan aku kembali ke rumah bersama di bulan ini ..

Namun ini adalah kali pertama kami kembali pulang sekolah bersama lagi setelah bertahun tahun lamanya.








ETERNAL SKIES OF YOU (Dear Sandy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang