Sylvia L'Namira - Kau

6 1 0
                                    

SPOILER WARNING!

Penerbit : GagasmediaTahun Terbit : Jakarta Selatan, 2012 (cetakan keempat)Tebal Buku : 206 hlm; 13x19 cmISBN : 979-780-499-2Genre : Romance; Chicklit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Penerbit : Gagasmedia
Tahun Terbit : Jakarta Selatan, 2012 (cetakan keempat)
Tebal Buku : 206 hlm; 13x19 cm
ISBN : 979-780-499-2
Genre : Romance; Chicklit

~~~~~~~~~~~~~~~

Masih menjadi sebuah pertanyaan yang belum mendapatkan jawaban yang pasti hingga kini, apakah Cinta pada Pandangan Pertama itu benar bisa terjadi? Apakah benar cinta? Atau hanya sekadar ketertarikan fisik?

Jujur, meskipun cover cerita ini menulis secara terang-terangan sub judul tersebut, tapi cinta yang terjadi pun tidak benar-benar langsung cinta pada pandangan pertama, melainkan karena kebersamaan dan perhatian. Nah, biar lebih jelas, mari kita masuk ke dalam cerita.

Viola Sembiring, yang akrab dipanggil Piyo, adalah protagonis kita pada novel ini. Melalui POV 1 yang berfokus padanya, kita diajak untuk membaca kisah hidupnya yang boleh dikatakan lumayan pasang surut ini. Diawali dengan dirinya yang berkarier di dunia reporter. Meskipun tempat kerjanya adalah milik Om alias adik dari mamanya, Piyo bekerja mulai dari titik terendah, tidak memanfaatkan pengaruh orang dalam. Meskipun begitu, kehidupan kerjanya lumayan terusik oleh Mona, pimpinan redaksi, yang kerap memberikan pekerjaan aneh dan merepotkan, intinya mempersulit Piyo bahkan kerasa bagai ingin Piyo gak betah dan cepat minggat dari sana.

Dilanjut. Karena sudah terbiasa bekerja sebagai reporter luar lapangan, juga karena atas perintah Mona menugaskannya ke tempat yang berbahaya, Piyo pun diminta untuk mengikuti pelatihan menjadi reporter perang (reporter yang telah dilatih dan ditugaskan untuk meliput daerah-daerah yang membahayakan nyawa, seperti salah satunya medan perang asli). Sempat menolak, tapi akhirnya Piyo mengikutinya saja. Plot sampai di sini berjalan lurus. Sekali lagi karena ini ditulis secara POV1, terus terang bagian pelatihan ini walau lumayan rinci, tapi sebenarnya tidak begitu pengaruh besar terhadap plot cerita terkecuali untuk menambah sedikit latar dan untuk mengisi jumlah halaman.

Mungkin salah satu dari Anda ada yang bertanya-tanya, desain cover lucu dengan awan berbentuk hati itu apakah ada tanda tertentu untuk cerita atau hanya estetika novel saja? Yup, benar. Ada kaitannya. Piyo, tokoh utama kita, sangat menyukai awan, bahkan pernah dikira sakit mental karena berbicara dengan awan. Bagai seorang peramal, ini suka dan terbiasa memandangi awan, mencari bentuk-bentuk awan tertentu sebagai petunjuk untuk hari-harinya. Selain itu, ia juga mempunyai topi rajut yang boleh dikatakan sebagai jimat atau penangkal, yang di mana kalau saja ia melihat pertanda buruk dari awan, ia akan mengenakan topi rajut warna tertentu sehingga ini menjadi cir khas uniknya dan lugu (bagi tokoh-tokoh lain yang melihatnya)

Baik, dilanjut lagi.
Setelah selesai mengikuti pelatihan, langsung saja Piyo pun ditugaskan untuk meliput ke daerah yang sedang mengalami kerusuhan. Berhubung di pulau tujuan sudah menjadi tempat yang berbahaya, banyak pesawat yang tidak bersedia terbang ke sana kecuali carter khusus yang mempunyai pilot handal. Igo namanya. Inilah pria yang berhasil menarik perhatian Piyo yang kian melajang sampai usia 25 tahun. Namun sekali lagi, Piyo tidak langsung jatuh cinta. Ia sudah terlantur berharap tinggi menemui pilot tampan, rapi, nan gagah, tapi langsung kecewa karena Igo ternyata memiliki penampilan yang berbeda 180° dari harapannya. Singkat cerita, meski awal sempat memberi kesan buruk, lambat laun karena sering bersama bahkan Igo menjadi penyelamat jiwa Piyo yang hampir celaka karena terkena gempa, rasa cinta pun mulai tumbuh dalam diri Piyo terhadap Igo.

Igo mempunyai sifat yang pendiam dan jarang bicara. Namun, ia menjadi pendengar yang baik terhadap Piyo yang lumayan cerewet apalagi membahas tentang awan kesukaannya, di mana orang lain kebanyakan acuh tak acuh. Igo pun melalui aksi langsungnya sering memperlihatkan bahwa ia juga memendam rasa yang sama terhadap Piyo, seperti contohnya tanpa ragu selalu menggandeng erat tangan Piyo, mengajaknya jalan, juga hampir setiap malam teleponan. Hanya tinggal menunggu waktu sampai Igo menyatakan perasaannya.

Sayang sekali, konflik, lebih tepatnya suatu peristiwa pun terjadi. Belum sempat bertemu, Igo tiba-tiba diberitakan hilang sewaktu bertugas, pesawat yang dibawanya jatuh. Keberadaannya tidak ditemukan di mana-mana. Piyo, yang selama ini bete diminta mamanya cepat pacaran dan kerap menolak perjodohan yang hendak dilakukan hanya bisa menangis histeris. Pria yang "pasti" menjadi pacarnya menghilang. Ia lebih histeris lagi pas menyadari anak dari teman mamanya yang selama ini hendak dikenalkan dan dijodohkan kepadanya adalah Igo. Sungguh hati ini hancur. Cinta yang sudah berakhir bahkan sebelum mulai.

Skip time, 1 tahun pun berlalu. Untuk mengganti suasana sekaligus menghibur keponakan emas kesayangannya, Piyo pun dinaikkan jabatannya oleh si Om dan berpindah tugas menjadi produser. Walau hati masih berat dan tidak sanggup move on, Piyo tetap berusaha bangkit, minimalnya tersenyum di hadapan orang-orang yang peduli padanya dan menjalani hidup secara normal.

Pertama, untuk kepenulisan novel ini lumayan bagus, nyaman dibaca, pembawaannya juga enak dan cukup menghibur. Piyo diberikan karakter yang suka melucu dalam narasi batinnya jadi aku sebagai salah satu pembaca yang sering tersenyum sendiri membaca leluconnya yang terselip-selip beberapa kali. Sayangnya, momentum kepenulisannya berubah menjadi buruk kian waktu berlalu. Pase yang awalnya lumayan lamban, makin ke belakang makin rush. Bahkan teknik kepenulisan banyak berubah menjadi telling dan singkat, jadi tidak ada kesempatan untuk merasa baper walau sudah masuk klimaks sekalipun. B aja gitu.

Hal ini pun terjadi saat masuk ke adegan PDKT dengan Igo. Alih-alih menulis secara showing atau menunjukkan adegan romantis mereka secara langsung, banyak sekali kisah mereka ditulis dengan narasi yang singkat, jadi sama sekali tidak ada momen romantisnya. Ada sesekali, tapi itu hanyalah flashback belaka dan sedikit memaksa juga bagiku.

Untuk penokohan, hmm ... kurang rata menurutku. Mungkin karena faktor ditulis menggunakan POV1, jadi orang-orang yang sering berhubungan erat dengan Piyolah yang lebih cepat dikenal dan akrab dengannya. Jika ingin disebut, hanya Piyo dan mamanya lah yang mendapatkan peran adegan yang banyak, sedangkan tokoh-tokoh lain termasuk Igo masih tidak begitu dekat untuk kita para pembaca mengenali dan menyukai tokoh mereka. Daripada Piyo yang notabene seorang protagonis, jujur aku lebih suka ke karakter mamanya, imut dan gemesin dengan kekepoannya.

Apakah cerita di atas sudah berakhir begitu saja? NO! Alasanku gantung dan memisahkan ending sendiri itu karena ada sebabnya. Aku kecewa dengan ending ceritanya. Baru saja kusebut bahwa salah satu adegan yaitu pelatihan reporter perang itu ibarat untuk memadatkan lembar halaman, kan? Nah, endingnya justru kebalikan karena sangat cepat alias buru-buru pake banget. Igo, yang sudah menghilang satu tahun lamanya tanpa kabar/updatean penemuan terbaru, ternyata belum meninggal, guys. Karena ini ditulis dengan POV1 Piyo, kurasa penulis pun bingung harus gimana, sehingga solusi yang dipilihnya adalah tiba-tiba mengubah jadi POV3 khusus untuk Igo, memberitahukan kepada pembaca bahwa dia belum mati. Tapi anehnya, tanpa ada alasan yang jelas, pria itu justru menyembunyikan dirinya dan dikatakan sedang depresi ingin melupakan Piyo. Lho? Kenapa? Maaf, aku tidak tahu. Karena pada ending yang hanya tersisa 1 halaman, Piyo yang kecelakaan pas di lokasi syuting tiba-tiba diselamatkan oleh Igo lalu mereka pun berpelukan melepas rindu dengan saling berjanji untuk tidak meninggalkan lagi. Ending.

Apa-apaan ini??

Overall, ini kisah yang cukup menghibur dan boleh dikatakan memberi banyak pengetahuan tentang dunia reporter. Pembawaan yang ringan membuat cerita ini gampang dan enak dinikmati, namun sayang sekali harus dirusakkan oleh sang author sendiri, yang selain keliru dalam menentukan adegan mana yang baiknya nulis telling dan mana nulis showing, ending pun bagaikan menuangkan segala sisa minuman karena sungguh terburu-buru, yang benar-benar nyata terlihat bahwa cerita ini terpaksa diselesaikan karena sudah kehabisan kuota halaman. Belum lagi dengan segala pertanyaan penting yang belum ada jawabannya membuat ambigu. Cerita yang harusnya bagus pun berakhir dengan nilai yang terkurangi banyak gara-gara ending yang sama sekali tidak memuaskan.

Nilai: 🌻🌻🌻

Extra:
Ini murni hanyalah penilaian pribadiku, tapi jujur aku sedikit heran kenapa cerita seperti ini bisa mendapatkan juara dua (tertulis di cover novel). Mungkin ada kriteria istimewa tertentu yang didapatkan dari cerita ini? Entahlah. Aku pun tidak tahu syarat lombanya gimana (sudah lama sekali, Sodara 😂)

Cerita ini masih bisa didapatkan secara preloved di olshop kesayangan Anda. Silakan bagi yang tertarik, lumayan menghibur.

Happy reading~

Novel Review - Mariani MarzzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang