5 menit sudah Qira kembali dengan dress-nya sebelum ke butik. Melihat pantulan dirinya dari cermin, Qira kembali teringat akan obrolan mereka yang terjadi kurang lebih sebulan yang lalu.
Saat itu seusai acara pertunangan mereka malam itu Keenan menarik Qira mengikutinya. Dibalut rasa kesal Qira mendongak takjub saat melihat hamparan bunga dandelion yang begitu luas dan tak hanya bunga dandelion saja melainkan ada banyak tanaman hias serta pohon pinus.
"Tempat ini.. kok bisa ada di sini?"
Seolah tak percaya dengan bentang alam indah disekitarnya akhirnya Qira menjatuhkan pandangannya kepada pria jangkung dengan bahunya yang lebar itu.
Keenan terbatuk sekilas. "Kenapa eh, kaget ya ada kebun bunga seindah ini?"
Qira tak tahu kemana arah pandangan Keenan yang berada tepat membelakangi Qira. Keenan menyimpan kedua tangannya ke dalam saku celana seperti biasa.
"Tidak, biasa saja kok." sahut Qira acuh. Kembali dengan wajah dingin.
"Katakan, apa yang kamu inginkan?" tanya Qira lagi memecah keheningan.
Helaan nafas panjang diambil oleh Keenan. Hatinya sempat ragu haruskah dia mengutarakan keresahan yang mengganggunya selama ini kepada Qira atau tidak.
"Ini... soal pernikahan, Kak Qira juga tidak menginginkannya bukan?" suara Keenan terdengar tenang.
Wajah yang semula menunduk kembali mendongak menampilkan keanggunan yang terpancar dari wajah cantik seindah rembulan malam itu. Namun wajahnya tetap dingin tidak menunjukkan ekspresi apapun. Sepasang obsidian gelapnya memperhatikan kelopak bungan dandelion yang telah mengering dengan mudahnya tersapu angin yang berhembus cukup kencang malam itu.
"Itu benar... Aku tak pernah sekali pun berpikiran untuk menikah apalagi dengan pria sepertimu." tenang dan dingin seperti biasanya.
Sebelah alis Keenan terangkat sedikit mendengar respon dari wanita cantik yang kini tengah berjalan berdiri sejajar dengannya, meskipun ada jarak jelas diantara Keenan juga Qira.
"Alasan utamaku menerima semua ini adalah karena aku menghormati keinginan Ibu. Dan sekalipun 'ini' tetap terjadi berjanjilah bahwa kamu tidak akan mengusik urusan pribadiku, begitu juga sebaliknya. Kita tetap pisah kamar meskipun tinggal satu atap."
Mendengar penuturan Keenan membuat Qira menolehkan wajah memperhatikan side profile dari wajah Keenan yang terlihat sempurna itu. Namun keindahan di depan matanya tak sanggup mengetuk hati Qira yang tertutup rapat.
"Maksudnya kamu berniat menerima 'ini' semua begitu saja, begitu?! Keenan tidak sadarkah kamu kedepannya baik kamu maupun aku... pada akhirnya kita hanya akan saling menyakiti diri sendiri?" menatap tak percaya kepada yang terakhir.
"Aku tak punya pilihan jika ini keinginan Ibuku. Aku tidak bisa melihat wajah kecewanya karena gagal mewujudkan kemauan Ibuku, kak..." berbalik menatap kedua mata Qira dengan perasaan rumit.
Jelas Qira samar-samar bisa merasakan emosi rumit dari tatapan mata Keenan yang tajam itu.
"Apa kamu... seorang anak mamih?! Mama boy yang selalu harus mendengarkan perintah orang tuanya padahal 'keputusan' sepenting ini juga lebih berhak kamu yang menentukan daripada orang lain!" sindiran pedas Qira layangkan berhasil membuat wajah Keenan gusar.
Menghela nafas sembari membuang wajah, Keenan tidak ingin beradu pandangan dengan Qira seorang wanita karir yang terbiasa mandiri dan keras kepala.
"Ya... bukan gitu juga maksud aku, ihhh!"
Meluruskan tangan sebelum menyilangkannya di depan dada. Tatapan sinis tak pernah lepas tertuju kepada Keenan. Pria yang satu tahun lebih muda darinya itu tengah merengek dengan wajah lucu tapi sebisa mungkin Qira mempertahankan karakternya yang tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh Aku Dirimu
Storie d'amore"Mengapa semua sangat berbeda dengan apa yang aku impikan selama ini!? Aku berniat segera kembali ke Pulau Bali untuk segera melamar Kak Yuyun... Tetapi, nampaknya Tuhan punya kehendak lain seperti plot twist di film-film. Sekarang dan selamanya, ak...