Bab 11 : Rencana besar Alexis

23 17 0
                                    

*Keesokan harinya, dibelahan bumi yang lain

Dengan langkah setengah tegas Alexis memimpin jalan mencari ruang ICU tepatnya di RS. Nusabakti kini mereka berada.

"Ayo sayang, kita harus segera temui Martha...."

"I-Iya, iya... Awas, jalannya hati - hati nanti kamu bisa tersandung." saran Serge, suami dari Alexis.

Sepasang obsidian gelap itu menatap nyalang membaca papan nama ruangan di setiap tembok. Sampai akhirnya setelah melewati tikungan ketiga, mereka berhasil mendapati Marthaliani yang tengah tertunduk lesu di kursi tunggu dengan tatapan kosongnya. Tanpa banyak berpikir, Alexis berlari mempercepat langkahnya lalu duduk di sebelah Marthaliani.

Melihat pemandangan itu membuat hati Alexis terasa seperti tertusuk pedang. Kedua mata Alexis nampak tenang seperti biasa namun tidak dengan hatinya yang sudah kacau sejak beberapa hari yang lalu.

"M-Martha, a-aku sudah sampai disini. Bagaimana kabarmu, adik?" tanya Alexis dengan hati - hati.

Setelah beberapa saat barulah Marthaliani mulai merespon kecil dengan sebuah tatapan obsidian gelap itu saling beradu, namun mata Marthaliani begitu kosong.

"Martha sayang~" bisik Alexis lembut menarik wajah saudari seperutnya, saudari yang saling bermusuhan jika sudah dalam satu ruangan yang sama, saudari yang saling menopang menjadi bahu sandaran masing - masing. Sungguh, Alexis merasa miris melihat kondisi psikis Marthaliani yang amat terguncang.

"Kak Ale~" bisik Marthaliani meskipun terdengar seperti keraguan.

"Iya sayang, ini aku ... aku minta maaf karena sangat terlambat untuk segera datang kepadamu."

Mulut Marthaliani cemberut dibarengi dengan air mata yang tadinya surut kini kembali membasahi kedua pipinya. Tangis Marthaliani pecah merengek dalam dekapan hangat Alexis yang terus mengusap punggung Marthaliani yang gemetar hebat.

Alexis memilih diam menahan tangisannya karena dia tak mau terlihat lemah di hadapan adiknya. Karena jika Alexis sudah menunjukan kerapuhannya maka siapa lagi yang akan terus menguatkan Marthaliani yang sangat membutuhkan support nya saat ini.

"Oh, betapa malangnya nasib anakku... Apakah ini hukuman yang harus aku bayar karena selama ini terus mengabaikan keinginan anakku hanya demi terus bersama dengan ayahnya? Apa salahku, jika aku masih begitu mencintai Louise, Kakak~"

Sesenggukan Marthaliani mengutarakan semua isi hatinya.

"Beberapa kali Keenan terus membela aku di hadapan Louise dan membiarkan dirinya menjadi sasaran kemarahan ayahnya. Kakak, apa ini karna untuk Ibu tidak becus seperti aku?"

Serge yang masih menjadi pendengar kedua bersaudari itu, akhirnya memutuskan pergi memberikan mereka ruang sendirian untuk mengobrol. Sementara langkah tegasnya membawa Serge masuk ke dalam ruangan Keenan.

Melalui ekor mata obsidiannya, Alexis melihat kepergian Serge. Helaan nafas panjang keluar dari mulutnya. Fokusnya kini tertuju penuh kepada sosok adiknya yang tengah sangat rapuh.

Alexis menarik dirinya, menangkup wajah basah Marthaliani.

"Hustt~ Kamu tidak boleh berbicara yang tidak - tidak seperti itu, Martha. Apa jadinya kalau ada Keenan disini melihat kamu yang tengah terpuruk dan terus menyalahkan diri kamu sendiri, hmm? Coba kamu pikirkan, betapa kecewanya dia melihat kamu yang selemah ini."

Kerutan di dahi Alexis menunjukan seberapa seriusnya dia saat ini. Alexis merasa tak senang atas apa yang diucapkan oleh Marthaliani. Perlahan Marthaliani berani melihat sepasang obsidian gelap milik kakaknya yang selalu tenang dalam mengelola emosinya.

Separuh Aku DirimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang