"Ayah, Ibu... Tolong beri kami waktu lagi. Tiga bulan itu terlalu singkat bagi kami untuk saling mengenal satu sama lain, Ibu."
Setelah berbincang lama dengan Qira, Keenan adalah orang pertama yang mengajaknya kembali masuk ke dalam restoran. Qira, Hyun Ok juga Adnan merasa terkejut dengan nada lembut yang dipakai oleh Keenan sangat berbeda saat mereka mengobrol biasa dengan Keenan.
Keenan mengirim tatapan memelas kepada Marthaliani dan hanya dibalas dengan helaan nafas panjang dari yang terakhir.
Marthaliani menyentuh lengan Louise meminta perhatian. "Sayang, tolong kita undur sedikit dan beri mereka ruang serta kesempatan untuk saling mengenal lebih. Karena aku paham bagaimana nantinya mental mereka belum siap berumah tangga jika kita terus menekan mereka untuk segera menikah." ucap Marthaliani lembut seraya menatap sepasang mata obsidian gelap milik Louise yang mengkilap.
"Keenan... Bukankah 30 menit tadi sudah lebih dari cukup untuk kalian bisa saling mengenal? Oh ayolah, aku tahu anak muda zaman sekarang kan tidak suka berbasa-basi... Kalau sudah suka sama suka ya langsung—"
Perkataan Louise langsung dibantah oleh Keenan dengan suara tegas, "Tolong jangan bandingkan aku dengan mereka mereka yang ada di kepalamu, Ayah. Dan aku berani bersumpah di hadapan Ibu, kalau aku bukanlah pria yang suka merendahkan harkat dan martabat seorang wanita!"
Louise memiringkan kepala seraya menyeringai kecil dengan menatap tajam kepada Keenan. "Kenapa kalimatmu tidak diteruskan? Aku yakin, masih ada banyak hal yang ingin kamu katakan bukan?" tantang Louise dengan menaikan sebelah alisnya.
Keenan menghela nafas panjang seraya menyilangkan tangan ke balik punggungnya. Dalam diam Keenan mengepalkan tangannya kuat setelah mendengar perkataan dari Louise yang seolah ingin memancing emosinya. Wajah lembut Keenan menampilkan ekspresi dingin, atmosfer disekitar mereka berubah berat, panas, engap, dan sesak.
Qira adalah orang pertama yang menyadari perubahan dalam diri Keenan. Sepasang mata obsidian gelapnya, menatap tertarik kepada Keenan seolah Qira tengah menanti sebuah pertunjukan yang membuatnya penasaran.
"Aku hanya perlu mengatakan apa yang perlu aku sampaikan, Ayah. Dan pendirian ku tidak akan berubah, tolong... beri kami waktu lagi tiga bulan! Terserah apakah diperlukan upacara pertunangan atau tidak, aku tidak perduli dengan hal itu. Tapi tolong, beri kami tenggang waktu lebih lama lagi." Keenan mengendurkan kepalan tangannya dan mencoba mengabaikan fluktuasi dari hatinya yang bergemuruh.
Keenan mencoba tetap tenang disaat situasi seperti ini, bukan masalah emosi yang diutamakan melainkan adalah logika yang sehat.
"Sebutkan apa alasannya kalian memutuskan untuk menunda niat baik?" tanya Louise lagi.
Percakapan antara Ayah dan Anak itu lebih mirip dengan adegan itrogasi. Sehingga tidak ada yang berani menginterupsi perkataan siapapun.
"Pekerjaan, sudah jelas dokter Bae di rumah sakit tempatnya bekerja memiliki tugas serta tanggung jawab yang besar. Tidak bisa semudah itu meminta cuti ataupun absen tanpa alasan meskipun dengan alasan kekeluargaan... namanya rumah sakit ya nyawa pasien adalah yang utama. Aku betul kan, Qira?" seraya melirik kepada Qira.
Qira menangkap kode dari tatapan Keenan, "Yang dikatakan oleh Keenan sangat tepat. Apalagi hanya aku satu-satunya dokter spesialis bedah di rumah sakit. Bahkan tak jarang, ponselku sering menerima panggilan darurat untuk pasien berkebutuhan khusus yang perlu segera di tangani. Ini mirip seperti bagian IGD... ponselku harus selalu aktif bila mana ada tugas dadakan."
Semua orang mengangguk setuju dengan alasan Qira yang masuk akal. "Bagus," ucap Keenan dalam hati. Tanpa sadar sudut mulutnya mengirim busur samar kepada yang terakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh Aku Dirimu
Lãng mạn"Mengapa semua sangat berbeda dengan apa yang aku impikan selama ini!? Aku berniat segera kembali ke Pulau Bali untuk segera melamar Kak Yuyun... Tetapi, nampaknya Tuhan punya kehendak lain seperti plot twist di film-film. Sekarang dan selamanya, ak...