Flirtationship (27)

305 55 58
                                    

••••

••••

Rafael memejamkan matanya ketika satu pukulan kembali mendarat di punggungnya untuk kesekian kalinya. Tepat dibelakangnya sang Ayah berdiri tegak dengan tongkat ditangannya.

Berkali-kali Rafael menghibur diri dalam hati, bahwa ini bukan kali pertama, jadi seharusnya ia bisa menahan rasa sakitnya. Selain menahan sakit di punggungnya, ia juga harus menahan sakit dari luka yang ada di wajahnya. Darah di sudut bibirnya sudah mulai mengering, begitu juga dengan yang berada di dekat dahinya.

"Setelah main-main dengan sekolah kamu, sekarang kamu juga udah berani pakai barang-barang Papa tanpa izin. Siapa yang memberikan kamu izin untuk memakai mobil Papa?!" tanya Nolan marah.

Pertanyaan itu datang bersamaan dengan satu pukulan yang kembali mendarat di punggungnya hingga membuat Rafael nyaris terjatuh ke depan. Rafael mendongak ketika Ayahnya berdiri di hadapannya dan memberikan tatapan itu.

Tatapan kebencian yang sejak kecil selalu ia dapatkan.

"Papa membiarkan kamu hidup bukan berarti kamu bisa bersikap seenaknya. Jangan pernah gunakan barang Papa tanpa izin dan sekolah yang benar. Setidaknya jadi anak yang berguna untuk Papa supaya Papa tidak menyesal membiarkan kamu tetap lahir ke dunia," kata Nolan sebelum pergi meninggalkan anaknya begitu saja.

Rafael meringis pelan ketika merasakan sakit hampir di seluruh tubuhnya. Wajah serta punggungnya yang sudah lama tidak dihiasi bekas luka itu kini kembali dengan memar dan darah yang mulai mengering.

Dia menatap kepergian Ayahnya dengan hati yang kembali hancur. Kemudian ia menatap sosok wanita yang berdiri cukup jauh darinya dan juga menyaksikan semuanya. Rafael hanya bisa tersenyum miris melihat sang Ibu hanya menatapnya dalam diam.

Dengan susah payah Rafael berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Dia berjalan dengan tertatih hingga sampai dikamarnya. Begitu masuk ke dalam kamar Rafael mengumpat pelan ketika ia bahkan tidak bisa berbaring karena sakit juga luka dipunggungnya. Rafael menghela nafasnya pelan lalu menarik bantal dan membaringkan tubuhnya dengan posisi tengkurap.

"Udah setengah tahun enggak pulang, sekalinya pulang bukan nanya kabar malah mukulin anaknya."

Rafael masih memakai seragam sekolahnya. Sepatu sekolah juga masih melekat dikakinya. Mata Rafael terpejam bersamaan dengan air mata yang turun membasahi pipinya tanpa bisa ia tahan.

Hatinya sakit. Semua pukulan ini tidak ada artinya jika dibandingkan dengan hatinya yang hancur. Menjadi anak yang berguna katanya, tapi mereka bahkan tidak pernah menjadi orang tua yang baik untuknya. Mereka juga tidak pernah menjalankan peran sebagai orang tuanya, jadi kenapa Rafael harus melakukannya?

Kenapa dia harus menjadi anak yang baik dan berguna untuk mereka?

Ditengah bisingnya kepala, pintu kamarnya kembali terbuka yang membuat Rafael pasrah jika itu adalah Ayahnya.

FlirtationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang