Rafael tidak banyak berharap setelah apa yang terjadi kemarin, tapi melihat Ibunya yang duduk di ruang makan dan mengajaknya untuk sarapan membuat ia terdiam cukup lama. Kakinya seolah tak bisa bergerak hingga ia hanya diam, dia tidak tau bereaksi seperti apa.
Bukan Rafael tidak senang, tapi sulit baginya untuk mempercayai apa yang terjadi sekarang. Melihat ada orang lain selain dirinya yang duduk di ruang makan membuat perasaannya campur aduk, dia bingung, tapi juga bahagia.
Sulit untuk mendeskripsikan apa yang ia rasakan. Semuanya terasa tidak nyata, ia seperti menunggu untuk terbangun dan kembali pada kenyataan di mana ia hanya sendirian sepanjang waktu.
Tapi, tidak ada yang berubah. Rafael tidak terbangun karena ini bukan mimpi atau khayalan belaka.
Setelah cukup lama terdiam, dengan canggung Rafael mendekat dan duduk di depan Ibunya yang tersenyum tipis. Rafael masih diam, tidak menyapa ataupun membalas senyuman itu.
Dia juga tetap diam ketika sebuah paper bag diletakkan di atas meja dan diberikan kepadanya. Masih dengan raut wajah bingung, Rafael mengambil dan melihat apa yang ada di dalamnya.
Handphone lama miliknya yang sudah rusak dan sebuah handphone baru.
"Kenapa?"
Satu pertanyaan itu membuat wajah Reina terlihat bingung. Dia menatap anaknya yang diam cukup lama setelah mengeluarkan satu kata itu, sampai ia kembali bersuara.
"Kenapa tiba-tiba Mama ngelakuin ini? Kenapa bawa aku ke rumah ini? Kenapa juga tiba-tiba ngajak aku sarapan? Ini juga, kenapa tiba-tiba kasih aku ini?" tanya Rafael.
"Handphone kamu rusak karena Papa." Dari empat pertanyaan yang anaknya ajukan, hanya satu jawaban yang ia berikan.
"Lalu jawaban untuk pertanyaan lainnya? Ini karena perkataan Kaynara kemarin, ya?" tebak Rafael yang membuat Reina hanya diam.
"Mama enggak perlu melakukan ini kalau hanya karena perkataan Kaynara. Dia enggak akan melaporkan Mama sama Papa juga, jadi enggak usah takut sampai harus berbuat baik ke aku kayak gini," kata Rafael yang masih merasa aneh dengan semua yang Reina lakukan.
"Bukan karena dia," elak Reina.
"Lalu?" tanya Rafael.
"Bukannya ini yang kamu mau? Kenapa masih mempertanyakan hal itu sama Mama?" tanya Reina yang masih malu untuk mengakui jika benar ini semua karena perkataan Kaynara.
"Mama aku yang enggak pernah peduli tiba-tiba melakukan semua ini, memangnya aku enggak akan merasa aneh? Iya, ini memang yang selama ini aku mau. Aku mau diperhatikan dan dipedulikan sama Mama dan Papa, tapi bukan karena paksaan," kata Rafael sambil menatap Reina yang kini terdiam.
"Mama enggak melakukan ini karena paksaan," kata Reina setelah cukup lama terdiam.
Kali ini giliran Rafael yang terdiam. Sampai akhirnya ia tersenyum dan meletakkan paper bag itu di kursi yang ada di sampingnya. Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat karena seharusnya, ia menikmati ini sebelum semuanya berubah lagi, kan?
"Makasih banyak, Ma."
Ucapan terima kasih yang pada akhirnya ia ucapkan membuat Reina ikut tersenyum. Tanpa sadar, ia merasa tersentuh ketika Rafael masih mampu mengucapkan terima kasih untuk sedikit perhatian yang ia berikan, setelah apa yang ia lakukan selama ini.
Saat Rafael mulai makan yang Reina lakukan hanya diam sambil memperhatikannya. Rafael makan dengan lahap, anaknya itu sudah beranjak dewasa dan pastinya sudah melalui banyak hal dalam hidupnya sendirian.
Reina mulai menghadapi kesulitan setelah ia dewasa, tapi Rafael sudah menghadapinya sejak kecil. Reina menerima kemarahan, kekecewaan dan kebencian dari orang tuanya karena kesalahan yang ia lakukan, tapi Rafael menerima itu semua tanpa alasan.
