••••
••••
Selama ini Rafael selalu memendam semua amarahnya. Diperlakukan seburuk apapun oleh orang tua dan keluarganya, dia hanya akan diam dan menerima itu semua karena Rafael tau marah pun tidak akan ada artinya.
Kemarin pun ia tidak melawan sama sekali. Rafael hanya diam, meskipun akhirnya tubuhnya di penuhi dengan luka. Semua itu tidak pernah benar-benar membuatnya marah, tapi entah kenapa kali ini berbeda.
Saat melihat hadiah pertama yang didapatkan dihari ulang tahunnya telah hancur berkeping-keping membuat hatinya sakit bukan main. Ketika akhirnya ia mendapatkan hadiah ulang tahun yang sejak kecil selalu ia harapkan, sekarang mereka menghancurkannya.
"Ini hadiah ulang tahun pertama yang Rafael punya."
Serpihan dari hadiah pertamanya itu ia genggam dengan sangat kuat hingga membuat darah mengalir cukup deras dari telapak tangannya. Rafael tidak peduli dengan reaksi Ibunya sekarang atau darah yang mulai membasahi lantai.
"Rafael!"
Dia berusaha mati-matian untuk menahan tangis. Ia masih ingat jelas ketika Kaynara memberikan hadiah ini untuk pertama kalinya dan hadiah ini lah yang membantunya untuk tidur nyenyak dan terhindar dari mimpi buruk yang selama ini menghantuinya.
Tidak pernah sekalipun ia tidak menggunakannya. Setiap malam ketika akan pergi tidur, lampu ini lah yang selalu menemaninya dan sekarang semuanya hancur.
"Ma, apa enggak cukup dengan melukai tubuh aku sampai Papa juga harus melakukan ini?" tanya Rafael sambil mendongak dan menatap Reina yang tampak khawatir melihat darah itu terus keluar dari pergelangan tangannya.
"Rafael, lukanya."
"Kenapa sama lukanya? Bukannya selama ini Mama enggak peduli?" tanya Rafael sambil tertawa miris.
"Rafael!"
"Sekarang boleh Mama keluar dari kamar aku?" pinta Rafael tanpa mau menatap wajah Ibunya.
Reina diam. Dia ingin pergi, tapi mendadak rasa takut mulai menyerangnya ketika melihat masih banyak sekali pecahan-pecahan kaca yang berserakan dilantai.
Rafael tidak akan menggunakan itu untuk melukai dirinya sendiri, kan?
"Keluar, Ma."
Kali ini Reina tidak berpikir lagi dan langsung pergi meninggalkan kamar anaknya. Setelah pintu kamar kembali tertutup dengan rapat, Rafael menatap kosong tangannya yang tak berhenti mengeluarkan darah.
Dia memang tidak boleh bahagia, ya?
Bahkan kamar yang selama ini selalu menjadi tempat aman untuknya, sekarang tidak lagi menyuguhkan hal itu.
••••
Dari sekian banyaknya hal yang Rafael lakukan dan membuatnya khawatir, pesan yang baru saja Kaynara baca adalah pemenangnya. Pesan singkat yang membuat Kaynara tidak tenang dan langsung berusaha untuk menghubungi pria itu, tapi tidak aktif.