"Makan apa kalian hari ini?"
"Biasa lah," jawab lelaki gendut di sampingku, "burger dan minuman soda."
Si penanya yang berperawakan kurus tadi menunjuk makanan Si Gendut. "Aduh, ngak sehat itu. Kek mana kamu mau kurus?"
"Aku suka perut buncit," balas Si Gendut, memukul perut besar di balik kaos putih polosnya.
"Kau ngak mau seperti aku?"
"Otomatis diabetes aku nanti."
"Hahaha, bilang saja kau susah gemuk"
Ronde baru dimulai. Si Kurus membuka dengan melontarkan omongan kasar terkait ketidaksehatan burger yang diterima langsung oleh Si Gendut sebelum dia kembali membalas menggunakan kata-kata kasar lain menghina sayur Si Kurus yang alih-alih menggemukkan malah membuatnya semakin kurus. Berulang-ulang begitu sambil saling menuding memakai jari telunjuk. Aku hanya bisa tertawa dan menikmati drama singkat di depanku.
"Sudahlah." Si Kurus duduk berseberangan dariku. "Bagus aku makan roti sandwichku dulu."
"Kau mengaku kalah?"
"Diam kau. Nanti keburu habis jam istirahat loh."
Si Gendut terkekeh. Ronde kali ini dimenangkan oleh Si Gendut karena memang dia lebih jago dalam hal debat silat. Lagi, dia sudah makan sehingga lebih berenergi. Biasanya Si Kurus menang kalau Si Gendut lagi kelaparan hebat.
Sesaat aku memperhatikan Si Kurus melahap rotinya gigit demi gigit. Beberapa selada tebal yang dihimpit dua lembar roti perlahan menciut dan berubah menjadi serpihan setiap kali dikunyah. Benar-benar makanan sehat.
"Takkan kubagi, Irvin," lontar Si Kurus tiba-tiba. "Kulepas seharga sepuluh ribu kalau kau mau."
Si gendut menimpali, "Mahal kali. Tinggal setengah roti pula itu."
"Diam! Aku menawari Irvin, bukan kamu."
Mulai lagi mereka bertengkar. Aku tersenyum sembari menyendok sup sayur asam dan memasukkan potongan-potongan sayur bercampur jagung kecil serta belinjo ke dalam mulutku. Kunikmati setiap kunyahanku.
"Sebenarnya aku penasaran dengan penampilanmu."
"Astaga. Sejak kapan kamu tertarik padaku, Irvin? Kita sama-sama lelaki loh."
"Kalau itu, aku masih normal. Hanya..." Aku menunjuk kepala Si Kurus. "...rambutmu."
Si Kurus langsung menyisir rambutnya perlahan. Berwarna hitam, agak panjang ke segala sisi, dan mengkilat. Mirip model rambut para aktor Korea.
"Tampan, bukan?"
Aku tertawa kecil. "Lebih tampan kalau kau pakai minyak rambut. Bisa dibuat jadi bermacam-macam gaya."
"Ngak deh. Sementara aku pensiun dini dulu."
"Pensiun dini?" Si Gendut mendengus. "Paling satu dua hari."
"Sebulan loh. Soalnya rambutku jadi rontok."
Si Kurus kembali menyisir rambutnya. Kali ini lebih menjorok ke dalam rambut kala menekan jari jemarinya sebelum menjulurkan telapak tangannya ke hadapanku. Terdapat beberapa helai rambut panjang nyangkut ke jemarinya.
"Ini karena aku pakai minyak rambut setiap hari selama tiga bulan terakhir," ujar Si Kurus penuh sesal. "Rontok lebat."
"Yang benar?"
Si Kurus menunjuk rambut Si Gendut. "Ya. Rambutmu pasti pakai minyak rambut juga, kan?"
"Memang sih."
"Jangan tiap hari saja," saran Si Kurus. "Nanti kita jadi botak. Sekarang kupakai kalau ada acara penting saja."
"Mungkin pakainya berlebihan," kataku setelah mendengar sesaat. "Soalnya minyak rambut itu kan banyak zat kimia."
"Betul. Mungkin beda dari shampo yang bisa kita pakai setiap hari, minyak rambut membuat rambut kita lebih sensitif."
Aku mengangguk pelan. Segala sesuatu yang berlebihan memang kurang baik walau bisa memberi keuntungan jangka pendek. Paling kubatasi saja penggunaan minyak rambut mulai sekarang mengingat kejadian dari rekan kerjaku ini.
Gunakan sebuah produk sesuai petunjuk agar terhindar dari hal tak diinginkan
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Kehidupan
Tiểu Thuyết ChungDalam kehidupan, kita menjalani hari demi hari tanpa tahu setiap kejadian memiliki hikmat yang seringkali menentukan arah hidup kita. Contohnya seseorang hendak menerobos lampu merah, tapi teringat peraturan lalu lintas dan berhenti. Tiba-tiba dari...