Saat itu aku sedang menunggu lampu merah berganti menjadi lampu hijau di sebuah perempatan jalan yang cukup ramai. Tiba-tiba saja seorang lelaki berbaju compang-camping, muncul entah dari mana, mulai membersihkan mobilku menggunakan kemoceng. Lelaki itu menyapu debu kaca depan, kaca samping, dan kaca belakang. Walau seadanya, aku senang dia mau bekerja meski bisa saja dia mengemis.
"Ini," kataku, menyodorkan uang sebesar Rp.10.000 setelah membuka kaca mobil samping.
"Makasih, Bang," ujar lelaki itu riang lalu membersihkan mobilku beberapa menit lagi sebelum berlalu.
Ketika lampu merah berganti menjadi hijau, aku menginjak gas dan menelusuri jalan utama. Tidak perlu lama, aku kembali menunggu di perempatan jalan lainnya. Memang tidak efisien memakai mobil. Jalanan kota Medan memiliki banyak perempatan jalan yang acap kali ramai terutama jam makan siang, jam pulang kantor, malam minggu, dan hari-hari besar. Apa boleh buat, jika tidak memakai mobil maka aku tak bisa bekerja. Tempat kerjaku amat jauh dari rumah.
Sementara aku merenung, mendadak ada orang mengetok-ngetok pintu kacaku. Aku tersentak, mengira seseorang sedang mencari masalah. Dari balik kaca. aku melihat seorang pemuda berbaju lusuh membawa kotak sedekah tertempel kertas pernyataan bahwa dia yatim piatu, terkena penyakit ini itu, dan perlu bantuan. Awalnya aku iba, namun kecurigaan terbesit ketika kubuka kaca mobil samping. Kondisinya terbukti sehat sekali apalagi dia agak gemuk dan tak bercacat. Aku mengernyitkan kening.
"Yakin abang kena penyakit?" tanyaku sedikit kasar. Mataku memindai ujung kepala sampai kakinya, sehat sempurna. "Baik-baik sajanya kulihat abang."
"Percayalah. Abang cuma melihat tampilanku saja," katanya lesu. "Aku tidak bohong."
Aku mulai memberi sedekah saat aku sadar kehidupanku lebih beruntung dari pada sebagian besar orang. Tetapi baru kulakukan beberapa bulan terakhir setelah naik jabatan menjadi seorang manajer. Termasuk memberi kepada pemuda ini sebesar Rp.2.000, nominal kecil, karena aku ragu dia butuh sedekah. Dia pun berlalu dan meminta kepada penggendara-penggendara lain.
Selama beberapa minggu aku menemukan pemuda tadi masih meminta-minta. Walau awalnya kuberikan, aku mulai merasa enggan sampai aku tidak tahan lagi.
"Hei, Bang," sapaku pada sang pemuda. "Kau mau coba bekerja? Tak mungkin kau selalu sakit dan pula jika pun sakit bagaimana kau bisa setiap hari meminta di sini?"
"Abang curiga padaku? Sebenarnya aku punya sakit liver yang amat parah," katanya, alasan yang terdengar konyol. "Rasa sakitnya kutahan-tahan."
"Dan penyakit-penyakit itu?" Aku menunjuk kertas pernyataan bertuliskan bahwa dia terkena berbagai macam penyakit yang ditempel pada kotak sedekah: gagal ginjal, penyakit kuning, TBC, HIV, dan lain sebagainya. "Harusnya kau sudah tewas kena semua itu?"
"Itu..." Pemuda tadi terlihat agak gelisah. "A-Aku juga memberi pada teman-temanku yang terjangkit semua penyakit itu."
Aku langsung teringat mempunyai seorang teman dokter yang berpengalaman. Bila benar, maka mungkin saja aku bisa membantunya. Tetapi aku ingin membuktikan kecurigaanku.
"Begini saja, besok kujemput kau di sini dan kita ke dokter, bagaimana?" usulku sambil menjentikkan jari seakan ide bagus. "Dan jangan lupa ajak teman-temanmu juga."
Mata pemuda tersebut melebar kaget. Tidak disangkanya akan mendengar kata-kata ini dari mulutku dan segera saja dia tergagap.
"B-Baiklah, Bang. K-Kita bertemu di sini besok," katanya terbata-bata, tak punya pilihan.
Aku tersenyum lebar. Senang jebakanku termakannya, walau aku sangat yakin dia akan menghilang besok. Dan memang benar, pemuda tersebut tidak tampak esok harinya. Aku lewat setiap hari dan pemuda itu selalu tidak berada di tempat. Beberapa minggu berlalu sampai dia muncul kembali. Kali ini dia tidak berani menghampiri, malah mau lari ketika melihat mobilku. Jika dia tidak datang, maka aku saja yang memanggilnya.
"Hei, Bang! Kau tak mau duitku? Katamu sakit!" seruku keras-keras agar orang-orang tahu kalau dia itu penipu. "Kok lari?"
Para penggendara bergantian menatapku dan pemuda pengemis itu yang berlari cepat mencari celah untuk melarikan diri. Beberapa hari kupanggil dengan hasil sama dan akhirnya kurelakan saja. Orang-orang pun sudah tidak memberinya uang. Sejak kejadian ini, aku pilih-pilih pengemis jika mau memberi sedekah. Meminta boleh asal sesuai kenyataan, bukan untuk menipu.
"Things gained through unjust fraud are never secure."
-Sophocles
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Kehidupan
General FictionDalam kehidupan, kita menjalani hari demi hari tanpa tahu setiap kejadian memiliki hikmat yang seringkali menentukan arah hidup kita. Contohnya seseorang hendak menerobos lampu merah, tapi teringat peraturan lalu lintas dan berhenti. Tiba-tiba dari...