"Kakiku gatal lagi," gumamku kesal. "Padahal baru sembuh dari mata ikan, apalagi sekarang."
Dengan jengkel aku duduk bersila di atas lantai dekat halaman rumah belakang. Pintu kubiarkan terbuka agar angin bisa keluar masuk sehingga sejuk. Suasananya juga adem dan menyenangkan hati.
Aku meletakkan kaki kanan ke atas kaki satunya, memposisikan sedikit miring agar telapak kaki dapat terlihat jelas. Sebuah tonjolan berwarna putih timbul pada pangkal ibu jari kaki. Ketika disentuh, tidak sakit sama sekali. Tekturnya padat dan keras.
"Mata kaki lagi!" seruku marah. "Ini sudah yang ketiga kalinya."
Tanpa sadar, sebagai pelampiasan kemarahan, aku mulai menggaruk mata ikanku sambil berpikir serius. Dua mata ikan sebelumnya sudah kucabut menggunakan metode klasik. Menggaruk sampai kelihatan bentuk pola lingkaran mata ikan dan kucongkel keluar menggunakan kuku. Jika diibaratkan maka seperti mencabut baterai dari remote TV. Aku harus melakukan hal yang sama lagi.
"Aku tidak mau menghabiskan duit untuk operasi mata kaki jika bisa kucabut," gumamku, masih menggaruk mata kaki. "Oh iya, itu karena mata kaki kakakku tidak keras. Punyanya besar dan sakit. Wajar sih harus operasi."
Aku mengedarkan pandangan ke lantai sekelilingku. Keramik-keramik putih bersinar cemerlang memantulkan cahaya yang masuk dari pintu belakang. Berwarna kuning pekat. Mataku melesat kemudian pada jejeran sepatu karet di dalam rak kayu pendek. Salah satu adalah milikku yang kubeli tahun lalu.
"Apa mungkin karena sepatuku?" pikirku curiga. "Sudah tiga kali aku kena mata kaki dan sepatu karet itu juga yang terus kupakai."
Sepatu karet enak digunakan. Selain berongga bolong-bolong supaya angin bisa masuk, jika hujan, aku tidak perlu repot-repot melepasnya. Tinggal santai saja walau terendam air banjir maupun becek. Oleh sebab itu, ditambah jarang dicuci, makanya sepatuku menjadi kotor. Pernah kubaca mata ikan disebabkan virus, mungkin sekarang virus itu sedang menetap dalam sepatuku.
"Aku tak mau kena mata ikan keempat maupun yang kelima," terangku, buru-buru mengambil keluar sepatu karetku ke kamar mandi. "Sebaiknya kucuci dulu."
Pertama-tama kurendam dulu dengan air deterjen. Setelah beberapa menit, kukeluarkan dan kugosok dengan sikat. Mencuci sepatu karet tidak mudah. Puluhan sikat baru mampu menghilangkan sedikit kotoran yang menempel bagai kerak. Terlintas untuk memakai pemutih, tapi aku tak mau diejek memakai sepatu albino. Proser terakhir adalah dikeringkan dengan membiarkannya saja.
Mata ikan ketiga berhasil kucabut beberapa hari kemudian. Lega rasanya tanpa harus menghabiskan uang. Aku tidak pernah kena mata ikan lagi setelah sepatuku dicuci. Malah saudaraku kena. Kusuruh dia mencuci sepatu karetnya. Sama sepertiku, dia pun tidak kena lagi. Memang kebersihan sepatu harus menjadi perhatian.
Temukan sumber masalahnya dan selesaikan sesederhana mungkin
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Kehidupan
General FictionDalam kehidupan, kita menjalani hari demi hari tanpa tahu setiap kejadian memiliki hikmat yang seringkali menentukan arah hidup kita. Contohnya seseorang hendak menerobos lampu merah, tapi teringat peraturan lalu lintas dan berhenti. Tiba-tiba dari...