Hidup Sehat

159 2 0
                                    

"Hei, kamu terlambat."

Wilam menyunggingkan senyum kala sang teman menyapa dirinya. Dia baru saja menaiki susuran anak tangga dan tidak menyangka akan bertemu sahabatnya secepat ini. Biasanya mereka bertemu di sudut ruangan. Dulu sekali.

"Seingatku belum jam 4 sore," kata Wilam sambil mengangkat tangan kanan, melihat jam tangan. "Baru pukul 3 lewat 45 menit."

"Pokoknya aku sampai duluan dan kau terlambat."

Wilam tersenyum sambil menggeleng kepala. "Kau memang tidak banyak berubah, Valentino."

Wilam menarik kursi dan duduk berseberangan dengan Valentino. Salah satu tangannya terangkat tinggi hendak memanggil pelayan, tapi sikunya ditarik ke bawah oleh Valentino.

"Aku sudah pesan," sergah Valentino. "Dua minuman moka ditambah sepiring kue kering. Seperti kebiasaan kita."

"Oh," gumam Wilam agak heran, "kau belum tahu?"

Valentino mengerutkan kening. "Belum tahu apa?"

"Aku hendak memesan teh pahit," jelas Wilam, menurunkan tangannya. "Aku sudah mulai menjalani hidup sehat."

"Apa aku salah dengar?"

Wilam mengangkat sebelah alis. "Kau tidak percaya?"

Valentino menerawang kondisi Wilam dengan seksama dari ujung kepala sampai perut bagian atas. Bagian bawah tertutupi meja. Memang kondisi lelaki berambut hitam agak panjang itu kelihatan lebih bugar dari yang sudah-sudah. Jika dulu terdapat bekas kehitam-hitaman di bawah mata, sekarang digantikan kulit segar. Rambut acak-acakan juga sekarang telah disisir rapi ke belakang, memberi kesan sopan. Tetapi yang paling mencolok adalah bentuk tubuh Wilam. Dia terlihat ramping dan berotot.

"Sejak kapan kau... diet?"

Wilam, melipat kedua tangan di atas meja. "Sejak dulu."

"Juga gym?"

"Yup. Makanya aku berotot begini."

Valentino mengulurkan tangan memegang lengan Wilam. Meremas otot-otot yang ketat dan berbentuk.

"Kau masih normal kan?" lontar Wilam tiba-tiba. "Karena kau memegang tubuhku."

"Hah?" Valentino tidak mengerti sampai pertanyaan itu masuk lebih dalam ke pikirannya. "Enak saja! Aku tidak gay! Aku masih suka perempuan."

"Hahaha, kau masih mudah dijebak." Wilam tergelak. "Sudah kukatakan, aku sudah hidup sehat sekarang."

"Aku tidak yakin itu semata motivasimu."

Sebelum Wilam sempat membalas, seorang pelayan menghampiri meja mereka. Dia membawa senampan minuman, mengambil dua gelas besar berisi cairan warna cokelat, dan meletakkan mereka di atas meja. Menyodorkan masing-masing ke arah Wilam serta Valentino. Sebuah kertas pesanan kemudian ditempel pada samping meja.

"Mas, aku pesan satu teh pahit juga."

Sang pelayan mengangguk lalu berlalu.

"Apa katamu tadi?" Wilam menoleh melihat Valentino.

Valentino memukul meja dengan dua tangan mengepal. "Kau masih saja pelupa rupanya."

"Dan kau juga masih sama ekspresifnya," sambung Wilam. "Aku hanya kurang konsentrasi."

"Aku tidak yakin motivasimu untuk hidup sehat karena hal sepele. Pasti terjadi sesuatu."

Menanggapi pernyataan sahabat dekatnya, Wilam mengangguk kepala sambil bersedekap. Dia menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan menengadah ke atas. Menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan-pelan. Kepalanya ditegakkan, meneleng menatap Valentino.

Cerpen KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang