Pukat Harimau

147 4 3
                                    

Suasana kelas begitu sepi. Hanya terdengar suara kapur tulis guru yang menari-nari di atas papan tulis hitam, merangkai berbagai macam kata. Kami para murid, terkhususnya aku, mencatat apa yang tertera dengan cekatan agar tidak ketinggalan. Beberapa halaman buku sudah ditulis penuh, namun sepertinya masih akan butuh lebih banyak lagi.

Tiba-tiba guru IPA ku berhenti menulis. Untunglah! Aku segera mencuri waktu mengibas tanganku yang sedari tadi penggal. Sang guru berbalik dan menunjuk seorang murid kurus di barisan paling depan.

"Ajeb, apa itu pukat harimau?" tanya guru IPA ku.

Kelas menjadi lebih hening lagi. Kami tidak menduga pertanyaan dadakan seperti ini dan tak dimungkiri pertanyaan lain akan ditanyakan. Aku menelan ludah, berharap bukan korban selanjutnya. Ajeb bangkit berdiri dan terbengong. Keringat dingin perlahan membasahi punggungnya yang tercetak ke seragam SD nya.

"A-Aku tidak tahu, Bu."

"Hahaha! Pukat harimau pun kau tak tahu!" ceplos Iffanda, murid bermuka bintik-bintik yang duduk di bangku paling sudut.

"Apa itu pukat harimau, Iffanda?" tanya guru IPA langsung.

Iffanda bangkit berdiri sambil terdiam. Jika ditanya, maka pihak tertanya harus berdiri untuk menjawab. Tangan Iffanda mengusap dagu, berpikir sejenak. Ekspresi tubuhnya menunjukkan bahwa dia tahu jawabannya, namun setelah sekian lama aku yakin dia sama tidak tahunya dengan Ajeb.

"Apa itu pukat harimau, Iffanda?" ulang guru IPA keras.

"A-Aku tidak tahu, Bu," gumam Iffanda pelan. Tangan dan kakinya gemetar. "Aku sungguh tidak tahu."

"Lalu kenapa kau menertawakan Ajeb?"

Iffanda tidak menyahut balik. Kepalanya tertunduk dan wajahnya memerah malu. Berselang, sang guru menyuruh Ajeb dan Iffanda duduk kemudian menjelaskan secara rinci apa itu pukat harimau. Kejadian tadi segera terlupakan. Namun terbekas kuat dalam ingatanku dan mengajariku bahwa lebih baik diam jika tidak tahu.

                                            "Tong kosong nyaring bunyinya."

                                                            -Pepatah Indonesia

Cerpen KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang