Wawancara Kerja

181 3 0
                                    

"Ah, Tuan William!" seruku, menyambut seorang pria jangkung berkemeja hitam yang baru saja memasuki ruang wawancara kerja. "Silahkan duduk."

Dengan senyum lebar, William menduduki satu-satunya kursi di depan mejaku. "Selamat siang, Tuan."

"Selamat siang, William. Tunggu sebentar yah, aku ambil berkasmu dulu," pintaku.

Aku membuka laci dan mencari-cari berkas tertera nama William. Setelah menemukannya, aku memeriksanya sebentar. Senyumku merekah seraya kubolak-balik berkas itu menemukan skor nilainya amat bagus.

"Tes psikologimu tinggi, begitu juga tes matematika," kataku, masih melihat berkas. "Dan tes ilmu komputermu juga cukup lumayan. Aku rasa kamu layak bekerja menjadi seorang programmer di perusahaan ini tapi..."

"Tapi?" tanya William agak cemas.

Aku melirik William dari balik kacamata besarku. "Kita perlu membicarakan gaji terlebih dahulu. Kamu tentu tidak mau bekerja tanpa digaji, bukan?"

"Hahaha. Aku tahu maksud anda," jawab William semangat.

"Baiklah. Berapa gaji anda sebelumnya?"

William berpikir beberapa saat sebelum menjawab, "Sepuluh juta rupiah."

Aku tertegun. "Setinggi itukah?"

"Ya."

"Kalau begitu, maaf," ujarku pelan. "Kemampuanmu benar-benar kami butuhkan, namun perusahaan hanya sanggup memberi gaji sebesar delapan juta rupiah. Sayang sekali, kami harus merelakanmu pergi."

"Aku terima pekerjaan itu," sentak William, langsung membuatku bingung. Orang macam apa yang mau gajinya lebih rendah dari tempat kerja sebelumnya. "Sebenarnya gajiku hanya enam juta. Mendapat gaji sebesar delapan juta adalah berkah."

Aku menutup berkas William dan meletakkannya di atas meja. "Tapi kamu tetap tidak dapat bekerja," kataku sambil melipat kedua tangan. "Maaf sekali."

"Kenapa?" William keheranan. "Apa aku berbuat salah?"

"Kamu kurang jujur. Apakah kamu mau mempekerjakan orang yang tidak jujur?" tanyaku serius.

Raut wajah William mendadak berubah. Menyuram dengan mulut tergagap tak karuan. Dia tidak tahu harus berkata apa untuk membela diri. Namun apapun pembelaannya, keputusanku tetap. Menjaga solidaritas perusahaan adalah prioritasku. Orang jujur lebih penting daripada kemampuan.

Aku memaksakan senyum. "Silahkan kamu keluar, Tuan William."

Berberat hati, William melangkah keluar. Aku rasa dia menyesal sekali, karena di luar sana terdengar suara erangan kemarahan dan tinju yang diarahkan kepada dinding. Aku meraih telepon dan memanggil satpam agar mengantar William keluar sebelum masalah terjadi.

"Berbohong bisa menutup pintu rezeki"

-Widdy, Author of Cerita Bijaksana

Cerpen KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang