Sakit Gigi

457 2 8
                                    

"Bagaimana gigimu, gus?" tanyaku.

"Masih sakit," jawab Agus pelan dengan satu tangan memegang pipi kiri. "Tak kusangka begitu cepat."

"Kan sudah kubilang dua bulan lalu, kau perlu memeriksakan gigimu selagi belum sakit."

"Aku tahu, tapi biaya berobat sakit gigi mahal."

"Dan lebih mahal lagi ketika gigimu sudah parah."

Seorang perawat cantik keluar dari ruang praktek, menghampiri kami yang sedari tadi menunggu di ruang tunggu.

"Giliran bapak masuk ke dalam," katanya lalu kembali masuk ke ruang praktek.

Agus menurut. Aku mendampingi Agus masuk dan menemukan ruangan itu terang berderang serta bersih. Di depan kami duduk seorang dokter tua botak di balik meja lebar warna cokelat. Sambil tersenyum ramah, dia mempersilahkan kami duduk.

Setelah bertanya jawab, Agus disuruh dokter berbaring di kursi pasien. Kursi tersebut besar, tinggi, dan ditancapi berbagai alat dari lampu, sedotan ludah, lubang pembuangan, dan lain-lainnya. Itu saja membuat diriku mengeluarkan keringat dingin, belum lagi jarum-jarum panjang terpampang di atas lemari dekat kursi pasien. Aku hampir pingsan. Cerita-cerita mengerikan tentang dokter gigi mungkin benar adanya. Aku belum pernah, secara pribadi, diobati dokter gigi makanya untuk menghindar aku merawat gigiku secara teratur.

Dokter gigi memakai masker, menggenakan sarung tangan putih seraya menghampiri Agus yang gemetaran.

"Tenang, sebentar saja aku siap," kata dokter kemudian mengambil alat kaca mulut dan memeriksa gigi Agus. Kepalanya mengangguk beberapa kali. "Oh, lumayan parah. Tahan yah."

Alat selanjutnya lebih mengundang perhatianku, bor gigi. Bor itu rupanya mirip solder listrik, memiliki sebuah batang runcing diujungnya. Listrik dinyalakan dan astaga, bor itu berputar kencang memekakkan telingaku. Suaranya bagai garpu digaruk-garuk pada dinding besi. Aku menutup telinga, khawatir bila mana gendang telingaku robek. Bagaimana kondisi Agus? Terpaku diam sementara bor gigi itu mengebor masuk ke gigi geraham belakangnya. Kurasa sangkin takutnya, dia bergeming dengan wajah pucat. Baguslah, dokter botak itu bisa melakukan pekerjaannya dengan tenang.

Ketika selesai, Agus setengah tewas. Membuat perawat tertawa kecil dan dokter geleng-geleng kepala. Alih-alih bangga, wajahku merah padam karena malu. Aku memapah Agus yang lemas lalu mendudukkannya ke kursi. Kuguncang-guncang dia agar tersadar.

"Semuanya lima ratus ribu," ucap dokter gigi.

Agus terkesiap. "Semahal itu dok?!"

"Kau masih perlu datang untuk perawatan lanjutan, kira-kira lima sampai enam kali dan kau perlu membayar harga yang sama."

"Ada apa dengan giginya, dok?" tanyaku sedikit kaget.

"Dia mengalami abses gigi, dimana bakteri menginfeksi gigi dan membuat sebuah gumpalan nanah," terang dokter sambil menerima kartu pasien yang diberikan perawat. "Datanglah hari rabu minggu depan."

Agus membuka dompet. Mendesah sebentar melihat isinya lalu mengambil lima lembar kertas warna merah dan dengan berat hati menyerahkan mereka pada dokter. Uang di dompetnya sekarang tinggal sebuah kertas biru.

"Kesehatan lebih penting daripada uang, gus," terangku. "Ayo kita pulang."

Agus terlihat murung ketika kami menuju mobil. Rasanya aku ingin menghibur tapi tidak bisa menemukan kata yang tepat.

"Ingin untung malah buntung." Agus berkata tiba-tiba. "Aku akan menjaga gigimu mulai hari ini."

Aku menepuk pundak Agus. "Baguslah kalau kau mengerti sekarang."


"Jangan karena ingin untung sedikit, kita malah rugi lebih banyak."

-Widdy, Author of Cerita Bijaksana


Cerpen KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang