"Bang, aku dengar surat-surat lamaran kerja terbaru sudah masuk?" tanyaku antusias.
"Yup. Itu, di sana."
Seniorku yang bertubuh cengking dengan rambut panjang terurai menunjuk setumpuk amplop besar di sudut meja. Amplop-amplop tersebut ada yang sudah terbuka, artinya sudah dilihat oleh seniorku.
"Anak-anak zaman sekarang tidak punya keterampilan apa-apa. Hampir semuanya sama saja."
"Coba kulihat dulu."
Aku meraih amplop paling atas. Sudah terbuka, jadi aku tinggal menarik keluar tumpukan kertas yang sudah diklip hekter sebelumnya. Kertas pertama tertulis pengajuan ingin bekerja di perusahaan, kertas kedua tentang profil pelamar, ketiga dan seterusnya adalah lampiran-lampiran tidak penting yang berupa hiasan belaka.
"Angline, tamatan sekolah Negra Utama dengan nilai bagus, tapi hanya bisa mengoperasikan komputer seadanya," gumamku pelan. "Kurang bagus."
"Coba lihat amplop selanjutnya," saran seniorku sambil menyesap kopinya. "Kau akan terkejut."
Aku mengambil amplop kedua. Memeriksa sebentar dengan ekspetasi kecil.
"Bruno, tamatan sekolah Patio Hagarni. Nilai jelek, bersedia kerja apa saja, dan berkemampuan mengggambar, mengedit photo, proggrammer, jurnalis, dan balapan?"
Alis terangkatku membuat seniorku tertawa terbahak-bahak. Aku terkejut bukan main. Yang benar saja, lulusan SMA ini memiliki banyak kemampuan berbeda-beda serta mencantumkan keterampilan yang sama sekali tidak perlu dicantumkan. Kami membutuhkan programmer dan artist gambar, bukan pembual.
Aku menggelengkan kepala. "Hancur, bang. Sungguh hancur."
"Kau mau lihat yang lain?"
"Nanti saja," kataku agak kecewa. "Jadi, berapa yang kompeten, Bang?"
"Menurutmu?"
Aku melihat tumpukan berkas di meja seniorku. Ada beberapa, namun aku tidak yakin berkas-berkas tersebut masih utuh diklip sesuai aslinya.
"Sepuluh."
Seniorku meletakkan kopinya. "Lima dari lima puluh lamaran yang masuk."
Untuk sesaat, aku terdiam seribu bahasa. Cuma sepuluh persen. Lagi, belum tentu juga lima calon pelamar itu bisa masuk perusahaan. Harus dites terlebih dahulu. Aku perlahan mengembuskan napas.
"Pekerjaan menjadi HRD semakin berat dari tahun ke tahun," keluhku. "Anak-anak zaman sekarang cuma bisa jadi admin. Tidak punya keterampilan sama sekali."
"Habis kerjaan mereka hanya nonton video, main-main, dan bersenang-senang saja," tambah seniorku. "Mereka harus diajari melatih diri pada bidang tertentu selama sekolah, jika mau bersaing di dunia kerja."
"Aku tidak yakin sudah diberitahu pun mereka akan melakukannya," kataku. "Dulu pun aku begitu."
"Tapi untung kau segera sadar dan belajar keterampilan," ujar seniorku santai. "Kadang kalau kita belum merasakannya, walau berapa kalipun dikasih tahu, kita tidak akan peduli. Saat waktunya tiba, kita kalang kabut. Itu sudah biasa"
"Kasihan anak-anak muda zaman sekarang."
"Mau bagaimana lagi? Kalau setidaknya mereka mau membaca buku, terutama buku penggembangan diri, maka akan tertolong," jelas seniorku sambil menyandari kursi sepenuhnya. "Itu tergantung pribadi masing-masing."
Aku mengganguk. "Ya sudahlah. Kita kerjakan saja bagian kita."
"Yah, jangan dipikirkan."
"Skill is better than strength."
-Pepatah Polish
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Kehidupan
General FictionDalam kehidupan, kita menjalani hari demi hari tanpa tahu setiap kejadian memiliki hikmat yang seringkali menentukan arah hidup kita. Contohnya seseorang hendak menerobos lampu merah, tapi teringat peraturan lalu lintas dan berhenti. Tiba-tiba dari...