Buku

123 3 0
                                    

"Jadi, menurutmu kita bisa menang dalam pertandingan kali ini?"

Budi yang sedang menyeruput minuman melalui sedotan mengangkat alis. "Apa yang kau ragukan, Lany?"

"Memang kita sudah latihan selama berbulan-bulan," gumam Lany sambil memainkan telunjuknya di atas meja. "Aku takut membuat kesalahan ketika dihadapkan pada situasi genting nanti."

"Selain itu?"

Lany berpaling ke samping, menghadap halaman kantin yang ditumbuhi rerumputan hijau. Nada suaranya terdengar rendah dan lesu.

"Kemampuanku. Apakah aku bisa?"

"Sama."

Secepat kata-kata Budi meluncur keluar, secepat itu pula kepala Lany berputar menatap Budi di depannya. Namun laki-laki tersebut tampak santai saja. Seakan masalah ini tidak mengusiknya sama sekali.

"Kenapa kau tidak takut?" tanya Lany heran. "Aku sampai tidak bisa tidur semalaman."

Budi menatap Lany lekat-lekat. "Karena larut dalam keraguan tidak membantu apa-apa. Mereka akan selalu ada ketika kita melakukan apapun. Jadi hadapi saja."

"Dari mana kau belajar sikap optimismu?" Dahi Lany berkerut.

"Aku belajar dari ayahku."

Seingat Lany, ayah Budi bukanlah ayah yang seharusnya menjadi panutan. Teman-teman seangkatan tahu siapa ayah Budi. Ayahnya seorang penjudi, mabuk-mabukan, dan pembuat onar. Beberapa kali pernah datang untuk membuat masalah terkait anaknya. Padahal Budi baik-baik saja. Selama hari-hari kejadian itu Budi amat murung. Tidak mau berbicara atau berkomentar sama sekali. Jadi jika sekarang Budi mengatakan belajar dari sang ayah, Lany tidak percaya sama sekali.

Lany berusaha memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Bukan maksudku menyinggung, Bud. Kau yakin kau belajar dari ayahmu?"

"Memang ayahku pernah ribut dengan sekolah," ujar Budi sambil mengangkat sebelah bahu. "Tapi dia sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Tidak berjudi, mabuk-mabukan, atau memukul kami lagi."

"Bagaimana bisa?"

"Karena membaca buku."

Mendengar kata "Buku" membuat perut Lany mules. Buku adalah sebuah benda yang begitu membosankan. Menyiksa setiap orang yang membacanya, terutama para anak didik murid. Namun dia penasaran bagaimana sebuah buku bisa merubah ayah Budi. Jangan-jangan Budi mengarangnya sendiri.

Lany menggeleng kepala. "Jangan bohong, Bud. Katakan yang sebenarnya."

"Oh, ayolah. Kapan aku pernah berbohong padamu?" bujuk Budi sambil tersenyum kecil.

Lany menghitung jari. Tiga jemari tangan kanannya terangkat, meninggalkan telunjuk dan jempol tetap tertunduk.

"Tiga kali. Jangan menambah yang keempat."

"Tunggu, itu..." Budi terkesan kalang kabut, "benar, aku pernah berbohong padamu tiga kali. Tapi yang ini tidak bohong. Kau harus percaya padaku."

Mata Lany berputar. "Baiklah, baiklah. Buku apa yang dibaca ayahmu sebelum aku percaya?"

"Sebentar," pinta Budi.

Budi merogoh ponsel keluar dari saku celananya, memegangnya di atas meja agar mereka berdua bisa melihat bersama-sama. Layar kata kunci dibuka. Telunjuk Budi bergerak bebas menekan beberapa icon ponsel pintar zaman sekarang. Setelah beberapa saat, Budi menekan sebuah gambar di mana sebuah buku tebal tergeletak di atas lantai. Berjudul "Ubah Kehidupanmu, Ubah Sikapmu".

"Buku ini yang dibaca ayahku ketika dia menyadari keadaannya benar-benar terpuruk," terang Budi, nada suaranya terdengar bangga. "Dia membujukku membaca buku yang sama."

Lany memandang penuh antusias. Pikirannya masih bertanya-tanya bagaimana pengaruh sebuah buku sangat hebat. Jika demikian, kenapa buku pelajaran membosankan? Salah bukunya atau orangnya? Ia tidak mengerti sama sekali.

"Kau yakin?" tanya Lany meminta penegasan. "Ayahmu berubah sama sekali setelah membaca buku ini?"

Budi mengangguk. "Dia yang mengajariku untuk selalu optimis setiap waktu."

"Aku tidak percaya, Budi," ujar Lany, tidak bisa menerima kenyataan.

"Ah," celetuk Budi sambil menjentikkan jari. "Mau bertemu ayahku?"

Ide yang bagus sekaligus buruk. Lany langsung menggeleng kepala.

"Jangan menambah masalahku, Bud."

"Aduh." Budi meringis kala menggaruk kepala. "Kau mau bukti, tapi takut melihatnya. Bagaimana kau bisa percaya?"

Apa yang dikatakan Budi benar adanya. Setelah menimbang-nimbang, termasuk tidak ingin mengecewakan teman baiknya, Lany mendesah pasrah.

"Baiklah. Kapan aku ke rumahmu?" tanya Lany akhirnya.

"Sekarang saja," usul Budi lalu melihat jam tangannya. "Baru jam 3 sore. Ayahku sedang di rumah."

"Eh?"

"Ayo!"

Segera Budi bangkit berdiri dan merangkul tasnya. Tanpa basa-basi dia menarik Lany yang buru-buru mempersiapkan diri. Sampai di rumah Budi, ayahnya menyambut mereka dengan ramah. Dulu penampilan ayah Budi acak-acakan alias kacau, namun sekarang rapi. Mereka mengobrol banyak hal sambil duduk di taman. Ayah Budi memang sudah berubah total. Ditambah berpengetahuan serta bijak. Lany pun mulai membaca buku-buku rekomendasi ayah Budi yang di kemudian hari akan sungguh berguna baginya.

Buku bisa membantumu melihat dunia dan mengubah pandanganmu

Cerpen KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang