"Yo, Wilam! Selamat datang!" seru teman baikku, Okta, setelah membuka pintu.
Aku menyambut rentangan kedua tangan Okta dengan pelukan hangat. Sungguh erat, menandakan ikatan pertemanan yang sudah begitu langgeng diuji oleh waktu.
"Jadi, kenapa kau terlambat? Pestanya sudah dimulai sedari tadi."
"Biasa. Ada projek yang harus kukejar," jawabku singkat sambil menyunggingkan senyum. "Ada hal menarik dalam pesta reuni kali ini?"
Telunjuk jari Okta berputar menunjuk kumpulan gadis muda di ujung ruangan. Gadis-gadis itu berdiri sambil memegang gelas minum, bercakap-cakap dan sesekali bercanda tawa satu sama lain. Aku kenal mereka. Teman-teman cewek populer dalam sebuah group bernama The Beauty Girls. Mereka memang cantik-cantik, tetapi memiliki sikap tidak terpuji. Dan seiring kecantikan mereka bertambah matang seperti sekarang, semoga juga sikap mereka.
"Lihat Valentine," lanjut Okta, menunjuk lebih spesifik pada seorang gadis berambut hitam terurai sampai ke lengannya. "Badannya sungguh aduhai."
Aku mengikuti arah pandang Okta. Valentine, ketua group The Beauty Girls, telihat menonjol dari gadis-gadis lainnya. Gadis itu memakai baju terusan pendek warna merah pekat yang amat ketat sehingga lekuk tubuhnya terlihat jelas. Dada montoknya juga tercetak keluar. Tak perlu diragukan semua perhatian pria di aula besar itu tertuju padanya. Aku hanya bisa tertawa kecil dan menggeleng kepala.
"Dia sama sekali tidak berubah. Masih suka cari perhatian," kataku. "Kau tertarik padanya, Okta?"
"Tentu saja, Wilam! Siapa yang tidak mau dengannya? Akan kupukul laki-laki yang menolaknya."
"Kalau laki-laki itu adalah aku bagaimana?" tanyaku dengan alis terangkat.
Okta menelan ludah sebentar. "Itu...Oh, ayolah. Kau tak tertarik padanya?"
"Hahaha, aku sudah punya gadis idaman lain, Okta." Aku melirik pada Valentine, ingin mengarahkan pandangan Okta pada gadis seksi itu, yang entah kenapa menatapku terpana. Aku hanya tersenyum sambil menyapanya dengan tangan kanan terangkat sedikit. "Ini kesempatanmu, Okta."
"Tidak mungkin dia mau denganku." Okta berujar pelan. "Jangan samakan aku denganmu."
"Kenapa tidak? Kalau tidak dicoba kau belum tahu." Aku menepuk pundak Okta. "Kau termasuk laki-laki hebat, punya perusahaan besar."
"Perusahaan ayahku, tepatnya."
"Hahaha, jangan rendah diri begitu. Coba saja dulu, kalau dia menolak berarti kau tinggal cari gadis lain yang lebih baik darinya"
Okta menengadah sebentar lalu mendesah. "Baiklah kawan. Akan kucoba."
Okta kemudian berlalu menghampiri Valentine. Gadis itu agak terkejut, namun berusaha semampunya menghadapi lelaki berkulit sawo matang yang memakai setelan jas kulit buaya itu. Dari gerakan tangan serta ekspresi tubuh Okta, aku yakin dia menggunakan segala macam rayuan dari memuji, pamer kekayaan, serta keuntungan jika berpacaran dengannya. Namun Valentine menolaknya mentah-mentah. Terakhir Okta kembali kepadaku dengan raut wajah seperti anak kecil yang baru saja dimarahi orangtuanya.
"Kau lihat? Dia menolakku," ujar Okta, sedih. "Kalau kau pasti bisa."
"Positif, Okta. Berarti dia bukan untukmu, pasti ada gadis yang lebih baik untukmu di luar sana," hiburku. "Aku ada satu kenalan, kalau kau mau tentunya."
"Kenapa baru sekarang kau katakan? Aku tak perlu merayu Valentine kalau begitu dari awal." Okta memukul pundakku, tetapi aku hanya tertawa. Aku memang suka mempermainkannya.
Alasan Okta mengatakan aku bisa merayu Valentine mungkin tercermin keadaan diriku sekarang. Dulu aku adalah seorang laki-laki culun, berkacamata besar, dan kerjaku hanya belajar sehingga kurang bisa bergaul. Setelah ditolak seorang cewek pertama sekali, aku sadar aku harus mengubah diriku. Aku melahap berbagai informasi bagaimana menjadi seorang gentleman yang lantas membuatku banyak membaca buku, mendengar motivasi-motivasi, dan cara-cara mengembangkan diri.
Semakin memperoleh informasi, semakin aku sadar bahwa ini bukan masalah menjadi keren, pandai bertingkah, atau mengejar-ngejar cewek, namun pada karakter secara pribadi. Aku belajar mengendalikan diriku, bersikap pantas juga sopan, berpenampilan rapi serta berwibawa, dan lain sebagainya. Dalam beberapa tahun aku menjadi laki-laki populer selama masa kuliah, yang aku sendiri tidak tahu mengapa. Semua perempuan tertarik padaku, termasuk cewek yang menolakku dulu. Sayang, aku lebih tertarik menggembangkan diriku serta mencari cewek yang lebih dewasa.
"Keluarkan ponselmu, Okta," suruhku sembari merogoh ponsel. "Biar kuberitahu nomornya."
Okta menekan angka-angka tombol ponsel kala aku mendiktekan nomor gadis yang menurutku cocok untuknya. Gadis yang akan kujodohkan tertarik pada Okta setelah kuceritakan bagaimana sahabatku itu. Dipastikan mereka akan jadi.
"Ini nomorku, Wilam."
Aku memutar ke samping, tertegun sebentar. Tangan yang memasukkan sepucuk kertas koyak berisi nomor telepon sebanyak 12 digit di kantong jasku bukan lain adalah Valentine sendiri. Rupanya tatapan tadi mengandung maksud tertentu. Aku tersanjung.
"Terima kasih, Valentine," ucapku, mengundang mata galak teman-teman pria yang lain ke arahku.
Okta memukul pundakku. "Lihat?"
"Apa?" tanyaku sambil mengangkat bahu.
"Dia tertarik padamu!"
"Jadi?"
"Cuma begitu ekspresimu?" Okta mengerutkan kening. "Aku yakin kau harus masuk rumah sakit jiwa, Wilam. Orang pasti berjingkrak-jingkrak jika berada di posisimu."
"Hahaha, tak harus berlebihan seperti itu. Biasa saja."
Selesai memberikan nomor, aku meraih kertas nomor pemberian Valentine dan mulai mencatatnya ke ponselku. Jujur saja, aku tidak tertarik pada Valentine, tak sedikit pun. Namun aku harus berlaku sopan dan menyapanya sekedar, bukan? Ketika aku memandang Valentine, gadis itu masih menatapku dengan pandangan yang sama. Aku hanya tersenyum.
"Perubahan seorang pria menjadi seorang gentleman itu tergantung dirnya sendiri."
-Widdy, Author of Cerita Bijaksana
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Kehidupan
General FictionDalam kehidupan, kita menjalani hari demi hari tanpa tahu setiap kejadian memiliki hikmat yang seringkali menentukan arah hidup kita. Contohnya seseorang hendak menerobos lampu merah, tapi teringat peraturan lalu lintas dan berhenti. Tiba-tiba dari...