(Bagian dari Cerpen Kehidupan Versi Irvin di platform cerita lain)
"Hei, brother!"
Tepukan keras pada bagian belakang punggung seketika membuatku melonjak. Aku menoleh hendak memarahi orang tersebut. Soalnya minuman yang tengah kuseruput hampir terlempar kalau saja tidak kupegang erat-erat sedari tadi. Sayang jika tumpah. Padahal sedang asyik-asyiknya tengah berbelanja di supermarket dan juga minumannya belum kubayar.
"Maaf kalau aku mengagetkanmu," pinta orang tersebut, seorang laki-laki berambut cepak hitam pendek ala batok, pas mendapatiku diriku melotot sinis. "Masih ingat aku, Bang Irvin?"
Dahiku mengernyit penuh tanda tanya. Wajahnya tidak asing, namun aku tak kenal dia."Dima loh. Ingat?"
Langsung saja mulutku membentuk huruf O besar. Ternyata junior dari sekolah dulu, lama sekali kami tidak pernah bersua. Mungkin sejak aku tamat SMA.
"Astaga, Dima." Aku menjulurkan tangan yang disambut hangat uluran tangannya. Kami bersalaman erat. "Sudah lama sekali. Kau ke mana saja?"
"Biasa, Bang. Aku sempat kerja luar kota, baru saja kembali tiga bulan yang lalu."
"Merantau?"
Dima mengangguk pelan. "Pasti dong. Aku suka jalan-jalan dan cari pengalaman baru sih, makanya maunya pigi ke tempat-tempat yang jauh."
"Lalu kenapa balik?"
"Mamaku tinggal sendirian sekarang sepeninggal bapak. Jadi aku tinggal di Medan dulu sampai nanti gimana."
"Sebentar..." Aku menggaruk dahi. "Kau masih ingin merantau?"
"Tentu saja. Tujuan selanjutnya ke luar negeri."
"Wah, mantap tuh. Sudah ada jalurnya?"
"Ada, tapi nanti baru kuurus pas mau pergi."
Kami berbincang beberapa saat menanyai kabar satu sama lain. Dari informasinya, dia sedang bekerja sebagai salah satu staff administrasi di sebuah perusahaan mobil terkemuka dan termasuk salah satu karyawan sukses. Tidak heran mengingat dirinya yang cukup kompetitif.
"Kalau mau beli mobil, bisalah nanti aku menghubungimu nanti," ujarku cukup semangat.
"Nanti biar kau dapat komisi."
"Mengenai itu... Bagusnya janganlah, Bang."
"Kenapa?"
"Tempat kerjaku ngak bisa menepati janji."
"Tunggu sebentar," kataku bingung. "Apakah mereka cuma ngumbar janji yah?"
"Mudahnya begini sih," Juniorku membuka cerita, "Pernah aku tawari seorang pelanggan yang adalah saudaraku sendiri untuk membeli mobil dari perusahaanku dengan janji dapat komisi sekian, tapi aku tidak pernah mendapatkan komisi tersebut."
Aku terdiam bisu. Alasan klasik itu biasa uangnya belum keluar saja.
"Usut punya usut, rupanya saudaraku minta diskon lebih sehingga uang komisi yang dijanjikan padaku dipakai untuk menutup diskon itu," lanjut Dima penuh sesal. "Jadi mereka tetap untung, bahkan bilang harusnya aku mengerti serta melerakan uang tersebut. Kalau rekomendasi orang luar, mana mungkin mereka berani macam-macam seperti itu, jadi aku mendiamkan mereka sampai sekarang daripada marah-marah."
"Dan?"
"Tentu merasa bersalah. Padahal kalau saja mereka pegang kata-kata mereka, aku bisa rekomendasikan lebih banyak orang, terakhir kukasih ke perusahaan mobil saingan."
Aku menggeleng kepala. "Mau untung banyak malah jadi rugi."
"Kata pepatah, kalau sudah bicara duit, saudara pun bisa jadi orang asing. Apalagi teman," Dima menekankan dengan wajah merah. "Aku benci orang yang ngak bisa pegang perkataan mereka."
Hanya anggukan yang bisa kulakukan. Memang tidak adil. Kepercayaan seseorang itu amat berharga dan perlu dijaga sebaik mungkin. Makanya kalau ngak mau berjanji, aku memilih diam maupun bilang ngak janji bila terpaksa.
"Hahaha, sudahlah. Aku pun sudah mau keluar dari perusahaanku." Dima mendadak tersenyum sambil menepuk pundakku. "Makasih yah sudah dengar ceritaku, Bang. Anggap saja pengalaman."
"Aman. Kau juga moga dapat kerjaan baru yang bagus."
"Pasti. Oklah, aku pamit dulu, Bang."
Tanganku melambai seraya Dima berbalik kemudian menghilang dalam kerumunan orang. Memang sebaiknya kita tepati apa yang kita katakan, terlebih jika orang bersangkutan menganggap serius perkataan maupun janji kita. Dari sini aku kembali merenung dan memilih berhati-hati akan perkataanku.
Perkataan seseorang baru bisa dipercaya setelah ditepati
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Kehidupan
General FictionDalam kehidupan, kita menjalani hari demi hari tanpa tahu setiap kejadian memiliki hikmat yang seringkali menentukan arah hidup kita. Contohnya seseorang hendak menerobos lampu merah, tapi teringat peraturan lalu lintas dan berhenti. Tiba-tiba dari...