Piket

190 1 0
                                    

Hari ini aku harus lebih waspada daripada hari-hari sebelumnya. Sebentar lagi lonceng menandakan sekolah usai akan berkumandang dan saat itulah peranku dimulai. Aku memberi isyarat tangan pada wakilku, menyuruhnya bersiap-siap sambil menunjuk jam dinding.

"Ting-Tong-Ting-Tong!"

Itulah tandanya! Kelas yang awalnya sepi mendadak ricuh dan para murid serentak menyimpan buku pelajaran, kotak pensil, botol minuman, dan lain sebagainya ke dalam tas lalu berbondong-bondong keluar kelas. Aku segera mengambil tempatku di depan pintu, berlagak bak seorang satpam. Semuanya harus piket hari ini, tanpa terkecuali! Beberapa anggota langsung piket, tetapi tidak sedikit yang bandel. Tugaskulah sebagai ketua piket bersama wakilku untuk menangkap calon-calon pembelot itu.

"Gary! Piket!" seruku pada seorang murid lelaki berkacamata tebal. "Jangan banyak alasan bilang game mu belum tamat atau ada edisi terbatas hari ini. Tak mungkin setiap hari ada edisi terbatas."

"Tapi..."

"Tak ada tapi-tapian, piket sana!"

Dengan raut suram, dia terpaksa mengambil sapu yang kusodorkan. Mulai menyapu area dekat meja guru. Selanjutnya lelaki berbaju seragam terbuka bagian atas yang terkenal mendongakkan kepalanya ketika berbicara sehingga memberi kesan meremehkan. Tipe murid preman.

"Andi! Piket!" seruku

"Kau pikir aku takut padamu?!" Kepala Andi mendongak lebih tinggi dari biasanya, seperti bicara pada budak. "Sejak kapan kau perintah-perintah aku?"

Aku mengerang dalam hati. "Sejak aku jadi ketua piket. Ada masalah?"

"Jangan sok mengaturku!" Andi menunjukku dengan jari telunjuknya. "Kau bukan ayah atau ibuku!"

"Katakan itu pada guru yang akan memanggil orangtuamu besok kalau kau lari hari ini," aku memperingatkan sambil memasang muka garang.

"Tukang lapor!"

"Kau tahu guru bisa melihat kinerja kita tanpa kulaporkan. Jangan coba-coba mengancamku!"

Andi membuang muka dan berbalik ke dalam kelas. Bukannya piket malah duduk-duduk sesuka hatinya. Itu mengundang perhatian wakilku yang merepetinya panjang lebar sampai dia mau tak mau harus piket. Memang wakil itu harus perempuan biar bisa membuat orang segan.

Tiba-tiba ada satu murid menerobos penjagaanku. Murid perempuan bernama Tiffany Tanbean yang terkenal serampangan. Aku lengah akibat berbincang dengan seorang sahabat. Sentak aku mengejarnya! Menyusuri koridor, menuruni tangga, dan melakukan gerakan zig-zag agar dapat melewati kerumunan murid. Berkat potong jalan, akhirnya aku berhasil menyusulnya. Dan kini dia berlindung di belakang sang ayah dengan tingkah ekstra centil.

"Pak, anakmu piket hari ini," kataku, berharap bapaknya bisa mengerti. "Tolong suruh dia bersih-bersih."

Bapak gendut itu menatapku sambil berdeham berat. "Kalau anakku tidak mau piket, kau mau apa?"

Sehabis berkata demikian, bapak itu pulang membawa anaknya yang tersenyum sinis ke arahku. Merasa menang berlindung di balik sang ayah. Aku menggepalkan kedua tanganku erat-erat, berpikir ayah macam apa dia! Bukannya mendisiplinkan putrinya, malah membelanya dan merasa sok hebat. Seharusnya dia tahu bagaimana mendidik seorang anak. Memang kurang diajar!

Sebagai murid SMP biasa, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menelan kepahitan itu. Tiffany belum tahu rasanya ditinggal mati seorang ayah, saat itu akan datang di mana dia sendirian dan harus belajar mandiri. Aku sudah merasakannya, tapi itu kisah lain. Terakhir aku melaporkan kasus ini pada guru dan tidak mau peduli lagi. Aku belajar bahwa aku tidak boleh menjadi seperti ayah Tiffany.

"Educating the mind without educating the heart is no education at all."

-Aristotle

Cerpen KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang