"Hei, William! Boleh aku duduk di sini?"
Aku menatap siswa berbadan besar itu dengan alis terangkat. Agak heran, kenapa dia mau meninggalkan teman-temannya demi duduk bersamaku? Kesempatan membahas game hanya bisa leluasa ketika jam makan siang saja. Sebenarnya aku lagi ingin sendiri, namun menolak adalah tindakan tidak sopan.
"Silahkan saja, Budi," kataku, memberi isyarat agar duduk di depanku. "Kau boleh duduk selama yang kau mau."
"Terima kasih."
Budi mengambil semangkuk mie dari nampan yang dibawanya dan meletakkannya ke atas meja pelan-pelan. Dari reaksinya, mangkuk mie itu pasti sangat panas. Awalnya aku hendak membantu, tapi kurasa dia bisa melakukannya sendiri. Setelah itu dia berlari ke konter kantin.
"Ini untukmu." Budi menyodorkan sebuah botol minum kepadaku ketika kembali. "Traktiranku."
Aku mengerutkan kening. "Kenapa kau baik padaku, Bud? Seingatku kita jarang berbicara di grup."
"Jangan samakan aku dengan mereka, William," kata Budi, tetap menyodorkan botol minum traktirannya. "Akan kujelaskan kalau kau menerima botol minum ini."
Aku langsung mengambil botol minum tersebut. Toh, tidak ada ruginya bagiku.
"Mereka bisa saja menjauhimu karena kau sudah jarang bermain game, namun aku ingin tahu kenapa kau sudah tidak mau bermain game lagi?"
Aku menelan ludah. "Kau tahu buku berjudul 'Kecerdasan Keuangan'?"
"Tidak. Apa hubungannya?"
"Sejak aku membacanya, aku sadar telah menghabiskan banyak waktu dan uang di game yang sebenarnya bisa kugunakan untuk hal yang lebih berguna."
"Maksudmu bermain game itu tidak baik?"
"Terlalu berlebihan yang tidak baik," tukasku tegas. "Aku masih main game dalam skala kecil, namun sekarang lebih sering mempelajari hal yang bisa membantu masa depanku."
Budi mulai mengaduk-aduk mienya berkali-kali dengan sumpit dengan mata masih berfokus padaku. "Contoh?"
"Belajar koding agar bisa membuat game. Daripada hanya bermain game, aku belajar membuat game."
Kali ini alis budi yang terangkat. Dia tidak menyangka akan mendapat jawaban yang entah kenapa menurutku biasa saja. Memang jarang atau mungkin tidak ada anak SMA yang belajar koding selain aku. Pelajaran komputer kami saja masih membahas perangkat komputer.
"Kau yakin? Buat game susah loh," lontar Budi tidak percaya. "Aku dengar perlu tim dan banyak orang."
"Aku mulai dari projek kecil dulu."
Sepertinya Budi sama sekali kaget dengan rencanaku. Dia terdiam sebentar lalu menggelengkan kepalanya berulang kali. Senyum merekah di wajahnya sembari dia mulai memakan mienya.
"Kau tahu, aku suka pemikiranmu," kata Budi. "Di mana kau beli buku itu? Kurasa aku harus punya satu."
"Kau ingin dijauhi teman-temanmu?" tanyaku bingung. "Mereka teman-teman masa kecilmu, bukan? Aku kan bisa ikut grup kalian dulu karena kebetulan suka main game."
"Aku bosan main game terus." Budi melipat tangan. "Kau tahu, sudah lama aku ingin mencari aktivitas lain, tapi tidak tahu mau melakukan apa."
"Buku itu akan cocok untukmu," terangku dengan nada riang, sebab ada yang bisa mengerti diriku. "Pikiranmu akan terbuka."
"Hahaha, kurasa aku baru akan tahu setelah membacanya."
Kami pun makan bersama sambil bercakap-cakap berbagai topik. Walau masih ada membahas game, kali ini kami masing-masing malah mengutarakan ingin membuat game apa. Jika kuanalisa, Budi bisa menjadi patner bagus. Biarlah waktu yang menjawab. Untuk saat ini, aku bersyukur sudah mulai mempergunakan waktu dan uangku lebih baik.
"Many people take no care of their money till they come nearly to the end of it, and others do just the same with their time."
-Johann Wolfgang Von Goethe
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Kehidupan
Fiksi UmumDalam kehidupan, kita menjalani hari demi hari tanpa tahu setiap kejadian memiliki hikmat yang seringkali menentukan arah hidup kita. Contohnya seseorang hendak menerobos lampu merah, tapi teringat peraturan lalu lintas dan berhenti. Tiba-tiba dari...