"Ini, Pak," kataku sambil menyerahkan uang Rp2.000 kepada tukang parkir.
Senyumnya merekah ketika uang itu diterimanya. "Makasih, Bos."
Setelah itu tangan tukang parkir yang kekar berkulit sawo matang menggengam bagian belakang sepeda motorku, menariknya kuat-kuat sehingga dengan mudah aku dapat mundur dan melakukan manuver untuk keluar dari area parkir. Beberapa tukang parkir biasanya langsung pergi tatkala uang sudah di tangan, tetapi tukang parkir satu ini membuatku terkesan.
"Besok-besok masih datang, Bos?" tanyanya.
"Ya. Aku masih ada urusan dengan toko obat, paling dua tiga kali lagi."
Aku menaikkan gas dan melaju pergi. Dalam hati aku tertawa kecil. Tukang parkir itu memanggilku "Bos", sebutan untuk orang-orang berkedudukan tinggi, membuat hatiku melambung tinggi. Seakan-akan derajatku naik. Memang cara jitu menarik hati pelanggan. Dan aku jamin mereka sering melakukannya.
Minggu depan kemudian, aku datang kembali ke toko obat untuk mengambil barang yang dijanjikan. Seperti biasa, tukang parkir sedang berada di sana melakukan tugasnya. Kuperhatikan dia melambaikan tangan menghentikan mobil lain ketika mobil langganannya keluar, membantu memakirkan sepeda motor orang-orang, memberitahu pelanggan jika saja mobil parkiran mereka salah posisi atau terlalu makan tempat, dan yang terakhir adalah menerima hasil jerih payah.
"Orang jujur," bisikku dalam hati.
"Ini obat anda, Tuan," ujar seorang nenek, menyerahkan sebungkus plastik berisi kotak-kotak kecil di dalamnya.
"Terima kasih, Nek," balasku. Aku bergegas menghampiri tukang parkir, membayarnya terlebih dahulu sebelum aku menaiki sepeda motor. "Bang, ini."
Karena tidak ada uang kecil, hanya uang Rp5.000 yang bisa kugunakan. Tukang parkir menerima uang tersebut dan memberikan balik uang kembalianku sebesar Rp2.000. Uang Rp2.000? Apakah aku yang salah hitung atau matanya yang salah? Seharusnya harga parkir cuma Rp2.000, dikurangi dengan Rp5.000 semestinya dikembalikan uang sebesar Rp3.000. Dia yang salah! Namun tukang parkir tersebut tersenyum belaka, pura-pura tidak tahu.
Rupanya ini kedok asli sang tukang parkir. Orang yang kupikir orang jujur, ternyata ada lah seorang tamak. Bila bisa mendapat lebih, kenapa tidak dilakukan? Bila ada kesempatan, kenapa tidak dimanfaatkan? Mungkin itu mottonya. Aku diam saja sambil mengangguk pelan. Kusimpan uang Rp2.000 kembaliannya dan menaiki sepeda motorku. Saat kugeser, sepeda motorku terasa berat. Aku menoleh ke belakang, menemukan tukang parkir tadi sudah menghilang. Dia sedang pergi membantu sebuah mobil langganannya di ujung sana yang mau keluar. Sebab bayaran parkir mobil jauh lebih tinggi dari sepeda motor.
"Memang kurang ajar! Udah makan duitku, sekarang meninggalkanku pula," gerutuku.
Aku langsung tancap gas dari TKP. Tensiku belum turun. Namun kenapa aku diam saja? Sebab tak perlu kutegur, aku yakin tukang parkir itu sudah sadar akan perbuatannya. Untuk apa menegur maling di siang bolong? Yang penting aku tahu tabiatnya sekarang. Sejak kejadian ini, aku tidak percaya tukang parkir itu lagi dan tetap memberikannya Rp2.000 sebagai biaya parkir.
"Jangan karena ingin untung sedikit, kau kehilangan kepercayaan pelangganmu."
-Widdy, Author of Cerita Bijaksana
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Kehidupan
General FictionDalam kehidupan, kita menjalani hari demi hari tanpa tahu setiap kejadian memiliki hikmat yang seringkali menentukan arah hidup kita. Contohnya seseorang hendak menerobos lampu merah, tapi teringat peraturan lalu lintas dan berhenti. Tiba-tiba dari...