Nilai Merah Fisika

655 15 8
                                    


Aku tidak ingat hari itu hari apa, tetapi yang pasti aku akan menerima hasil ulangan yang diadakan minggu lalu. Jantungku berdegup tiada berjeda. Terutama saat lonceng pelajaran kelima berakhir dan mata pelajaran selanjutnya adalah Fisika.

"Akankah aku lolos kali ini?" tanyaku dalam hati.

Entah kenapa teman-temanku tampak tenang saja. Mereka masih bisa bercanda tawa. Untuk meredakan rasa tegang yang menjalar seperti aliran listrik dari punggung ke bagian tubuh lain, aku melipat kedua tanganku dan menatap lurus ke depan. Namun itu tidak membantu sama sekali.

"Bu Nero datang!" seru salah seorang temanku ketika melihat seorang wanita paruh baya melewati jendela kelas.

Para murid beramai-ramai duduk diam dan mengambil posisi sesopan mungkin. Detail berikutnya, yang kudengar adalah langkah berat wanita itu ketika memasuki kelas dengan setumpuk kertas dalam pelukan tangannya. Aku tertegun, menerka-nerka hukuman apa yang menantiku sebab sebuah rotan panjang digenggam olehnya.

Kertas-kertas itu diletakkan di atas meja. "Ibu akan membagikan hasil ulangan Fisika minggu lalu."

Murid-murid hanya mengangguk. Mereka tidak berani berkomentar sebab guru Fisika ini terkenal galak. Terlebih tega memberi seseorang nilai merah jika terbukti membuat sedikit saja keributan.

"Jujur saja, ibu kecewa akan hasil ulangan kalian," katanya kemudin mendesah. "Semoga saja ini menjadi pelajaran mengingat ulangan semester dimulai bulan depan."

Satu per satu murid dipanggil ke depan menerima kertas ulangan mereka. Di luar dugaan, rotan tadi hanya sebagai hiasan semata sehingga hatiku terasa lapang. Lalu tiba saatnya aku menerima hasil ulanganku.

"Lima puluh!" seruku dengan mata terbelalak.

"Belajarlah lebih giat," saran guruku sambil lalu.

Otot-otot badanku seketika melemah. Sesuatu seolah-olah menghisap daya hidupku. Kembali berjalan ke tempat duduk pun aku seponyongan. Namun, aku heran, sebagian besar teman-temanku tetap masih bisa cekikian dan malah memamerkan nilai merah mereka. Waraskah mereka? Aku kurang tahu.

Dan apa salahku? Padahal aku sudah belajar siang dan malam! Haruskah aku belajar lebih keras dari sebelumnya? Atau bagaimana? Segala pikiran negatif membanjiri kepalaku bahkan setelah pulang ke rumah. Orangtua serta saudaraku menasihatkan agar aku melupakan nilai merah itu dan berfokus pada hal lain. Namun rasa perfeksionis dan egoku sangat kuat, kuabaikan mereka dan menerima bayaran kekhawatiranku memikirkan nilai merah itu selama tiga hari tiga malam. Di malam ketiga, aku tersadar.

"Kenapa aku begitu bodoh? Ujian sudah berakhir dan banyak nilaiku yang bagus kecuali Fisika." Aku memukul jidatku. "Gara-gara satu mata pelajaran merah, aku seperti kehilangan segalanya. Harusnya aku bersyukur."

Sejak saat itu, aku belajar menerima nilai-nilai merahku.

"Kekhawatiran sering membuat masalah kecil memiliki bayangan besar."

-Pepatah Swedia

Cerpen KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang