Marah

106 1 0
                                    

"KALIAN TERLAMBAT!"

Bentakan menggelegar memenuhi seluruh ruangan. Aku meletakkan pulpen dan melihat ke depan. Tiga mahasiswa berandal memasuki ruangan dengan langkah tertatih-tatih. Bagaimana tidak? Dosen kami bernama Pak Sandres ini terkenal tegas dan taat peraturan sehingga siapapun takut padanya jika berbuat salah.

"Ambil kertas ujian kalian! Cepat, waktu sudah mau habis!"

Tiga mahasiswa berandal melakukan apa yang disuruh. Mereka mengambil tiga kertas ujian pemberian Pak Sandres, menduduki bangku paling depan, dan mulai mengerjakan soal ujian. Waktu tinggal sedikit, aku tidak yakin mereka akan sempat.

Bel berdentang keras, waktu ujian telah berakhir. Aku buru-buru memeriksa kertas ujianku. Apakah ada yang salah? Sudahkah semua informasi data diri lengkap? Semuanya kucek agar tidak terkena masalah. Namun Pak Sandres selalu baik, memberi kesempatan kepada murid-muridnya untuk memperbaiki kesalahan mereka termasuk memberi waktu tambahan kepada ketiga murid berandal.

"Kurasa hasilmu kali ini cukup baik," kata Pak Sandres, memeriksa sekilas hasil ulanganku.

"Semoga, Pak," tuturku sopan.

Tetapi yang paling membuatku kagum tentang Pak Sandres adalah pengendalian dirinya terhadap kemarahan. Bisa saja dia membentak atau marah-marah, tetapi sedetik kemudian dia sudah tidak marah sama sekali. Bahkan bercanda pun bukan masalah. Beda dengan dosen-dosen lain, mereka akan marah seharian penuh. Aku ingin sekali tahu apa rahasianya.

Kala aku ke kamar mandi setelah bercakap lama bersama seorang sahabat, aku menemukan Pak Sandres tengah mencuci tangannya di wastafel. Bapak itu tersenyum melihat pantulan diriku di cermin.

"Ujian kali ini kau lulus," kata bapak setengah botak itu. "Apa kau tertarik melanjutkan studi Srata-2 ke depannya?"

"Entahlah, Pak. Aku tidak tahu."

"Kalau kau mau jadi dosen, bapak akan membantumu," tawar Pak Sandres, menutup keran air. "Ada banyak yang bisa kau peroleh dari mengajar."

Sekejab terlintas dalam benak mengenai pengendalian diri Pak Sandres terhadap kemarahan. Ini kesempatanku untuk menanyakan rahasianya. Aku sangat ingin tahu.

"Pak, bagaimana bapak bisa marah besar lalu sedetik kemudian tidak marah sama sekali?"

"Oh." Nada suara Pak Sandres mendadak melembut. "Menurutmu, kenapa harus marah lama-lama?"

Pertanyaan sederhana yang membuatku berpikir lama untuk menjawab. Mungkin merasa tidak senang dan ingin meluapkan segala isi kepada sesuatu. Tidak mau peduli kepada orang atau benda.

"Membuang kepahitan?" jawabku ragu-ragu

"Marah lama-lama hanya akan menghilangkan rasa bahagiamu, jadi jika bisa bahagia kenapa tidak?" Pernyataan dosen yang sudah mengajar lebih kurang 20 tahun itu membuka pikiranku. "Lagi, kemarahan tidak menyelesaikan apapun, hanya berguna untuk menegur. Jadi latihlah dirimu."

"Bagaimana caranya?" Aku spontan bertanya. "Apakah ada rahasianya?"

Pak Sandres menelunjukkan satu jari ke arahku. "Apabila kau marah, ingat, kau memiliki kemampuan mengendalikannya."

Pak Sandres pamit pergi, meninggalkan diriku yang berdiri teguh dengan pikiran merenung. Tidak kusangka pertanyaan sederhana, tidak, pertemuan singkat ini begitu mempengaruhi cara pikirku akan kemarahan. Kupikir marah adalah hal lumrah, sesuatu yang dilakukan semua orang, sehingga tidak mengapa dilakukan. Tapi aku tidak sadar ketika aku marah, aku tidak bahagia. Aku berusaha mendapatkan kembali kebahagiaan dalam keadaan marah dengan meluapkannya pada sesuatu, tetapi tidak kunjung kudapat juga. Kebahagian itu hilang karena aku membiarkan diriku marah, jadi bila kemarahan itu kuhilangkan, maka aku akan bahagia.

Sejak pertemuan itu, aku belajar mengendalikan amarahku. Meski tidak mudah, aku mencoba dan berhasil. Salah satu tips lain adalah merelakan kemarahan itu pergi. Sekarang, aku merasa lebih bahagia.

"Kemarahan hanya membuat kebahagianmu hilang."

-Widdy, Author of Cerita Bijaksana

Cerpen KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang