Pikiran Menjadi Perempuan

245 1 0
                                    

"Tolong nasehati dia, Ayah," pinta putraku. "Aku tidak mau anak laki-laki ku jadi waria."

"Akan Ayah coba, tenanglah." Aku menepuk pundak putraku. "Semoga saja dia mau mendengar kakeknya ini."

Aku masuk ke ruang tamu setelah berdiskusi dengan putraku di lorong rumah. Di sana kutemukan seorang pria kekar berbaju ketat sedang menduduki sofa sambil menunduk. Seperti menunggu hukuman. Itu cucuku, bocah yang baru pensiun dari ketentaraan sebulan lalu dan memberitahu kami bahwa dia ingin melakukan operasi plastik menjadi seorang perempuan. Omong kosong! Tugaskulah sekarang menasehatinya.

"Hai, bocah besar," sapaku. Pria itu mendongak ke arahku, tersenyum. "Bagaimana kabarmu?"

"Baik, Kek," katanya. "Apa kakek akan membujukku sama seperti yang lain?"

Aku duduk berseberangan dari cucuku. "Oh, tentu iya. Aku saja sampai terkejut kenapa kau ingin menjadi seorang perempuan. Bisa jelaskan?"

"Semua ini berawal dari aku bergaul dengan gadis-gadis di sekolahku." Cucuku menghela napas. "Dari pengalaman bersama mereka, aku sadar aku suka berdandan, baju-baju cantik, dan lain sebagainya. Kusembunyikan rahasiaku sampai sekarang."

"Kenapa baru berumur 28 tahun kau memberitahukan hal ini pada kami?" tanyaku antusias, sementara putra dan menantuku yang mengintip sedari tadi memukul jidat mereka, berpikir aku mendukung keputusan cucuku.

"Sebenarnya aku berusaha menjadi laki-laki dengan masuk ketentaraan. Menumbuhkan janggut, bergulat, minum bir, dan lain-lainnya." Cucuku berhenti sebentar sebelum melanjutkan kata-katanya, "Dan berpikir mungkin lebih baik aku mati sebagai laki-laki daripada berkutat dengan masalah ini. Tapi aku hidup dan memang harus menjadi seorang perempuan."

Aku menggeleng kepala berkali-kali. Kenyataan masalahnya sudah berlarut selama bertahun-tahun sehingga cucuku pun terperangkap dalam pikirannya. Sungguh gawat. Perlu menjalani terapi, tetapi akan kubuka dulu pikirannya.

"Kamu merasa adalah seorang perempuan, bukan?" tanyaku ringan.

"Ya," sahut cucuku, merasa aneh dengan pertanyaanku. "Aku seorang perempuan tulen yang terjebak dalam tubuh laki-laki."

"Bukan, kamu adalah laki-laki."

Cucuku mendongak ke depan. "Alasan kakek tak masuk akal. Aku bukan laki-laki, aku ini seorang perempuan."

"Apa alasanmu yang masuk akal kalau kau adalah seorang perempuan dan bukan laki-laki? Mana buktinya?"

"A-Aku..."

Cucuku tergagap. Tak tahu harus membalas apa. Dan percakapan singkat ini memberi secercah harapan karena cucuku masih ragu-ragu. Kesempatan yang bagus untuk merubah pandangannya.

"Nak, yang kau alami adalah merasa."

"Merasa?"

"Kalau kubilang kau bodoh, apakah kau bodoh?" tanyaku sambil menunjuknya. "Kau bodoh dan bodoh."

"Aku tidak bodoh," sentak cucuku, menapis perkataanku.

"Kau bisa menjadi bodoh kalau kau merasa bodoh dan lebih buruk lagi menerima kalau kau itu bodoh dari hanya merasa bodoh."

Sesaat cucuku tercengang. Matanya melebar kaget dan mulutnya mengangga. Perkataanku tepat sasaran dan dia mulai merenung. Apakah memang karena dia merasa? Atau semua ini hanyalah sebuah permainan pikiran? Aku yakin semua pertanyaan itu terlintas dalam benaknya.

"Nak." Aku memanggil cucuku yang mendadak tersadar dan menatapku. "Hati-hati dengan kekuatan mempercayai yang berawal dari merasa. Kau harus mengontrolnya sebab kaulah pemilik pikiranmu itu."

"Sebentar, maksud kakek karena aku merasa dan percaya aku ini seorang perempuan makanya aku menjadi perempuan? Kalau begitu kenapa aku tidak bisa merasa dan percaya aku adalah seorang laki-laki dan menjadi laki-laki?"

"Karena kau lebih mendengar pikiranmu yang mengatakan kalau kau adalah seorang perempuan."

"Tak mungkin. Aku ini seorang perempuan, bukan laki-laki."

Cucuku tertunduk dalam kala kedua tangan meremas kepalanya. Dia mengerang dan mengembuskan napas panjang-panjang. Tidak mengerti akan semua hal yang baru saja dicernanya.

"Aku adalah perempuan, Kek!" seru cucuku, langsung berdiri. "Jangan mengubah pendirianku!"

"Kau sendiri ragu apakah kau adalah seorang perempuan, jika tidak, kau tak mungkin mengatakan kata-katamu itu."

Putra dan menantuku hendak masuk ke ruang tamu ketika melihat cucuku berdiri. Pikir mereka dia akan melakukan kekerasan padaku. Aku tahu, dia hanya mengalami kegoyahan. Kuulurkan telapak tanganku ke samping agar putra dan menantuku berhenti di tempat dan membiarkan diriku menyelesaikan semua ini.

"Aku memiliki bukti kenapa kau adalah seorang laki-laki dan bukan seorang perempuan," kataku pelan, berharap emosi cucuku sedikit mereda. "Namun, duduklah dulu."

Cucuku mendengus kasar. Dia kembali duduk sambil menghela napas agar keadaannya merasa lebih baik. Setelah beberapa saat, dia menatapku lagi dan siap mendengarkan.

"Katakan, Kek," pinta cucuku ingin tahu.

"Kau terlahir sebagai laki-laki," kataku semangat, kuat-kuat merentangkan kedua tanganku ke arahnya seperti mengucapkan sebuah selamat. "Kau punya otot yang besar, badan kekar, berjanggut, tampan, dan terlebih dari semuanya adalah kau punya itu."

Cucuku mengernyitkan kening. "Itu apa?"

"Alat kelamin laki-laki," kataku sambil tergelak. "Perempuan tak punya itu mau apapun yang kau katakan."

Cucuku tersenyum sambil menggeleng kepalanya. Dia tahu maksudku dan itulah yang kuharap untuk menyakinkannya bahwa dia adalah seorang laki-laki. Lalu dia tertunduk, masih sedikit kurang percaya.

"Entahlah, Kek," gumamnya. "Aku masih ragu. Entah aku ini laki-laki atau perempuan."

"Tenang, Nak. Kakek akan membantumu." Aku menepuk pundaknya. "Pikiran kalau kau adalah seorang perempuan harus dibuang jauh-jauh. Kau adalah laki-laki! Coba katakan bersamaku."

"Aku ini laki-laki," gumamnya.

"Lebih keras," ujarku. "Ucapkan lagi."

"Aku ini laki-laki."

"Lebih keras lagi!"

"Aku ini laki-laki!"

"Bagus, Nak! Kau itu laki-laki!"

Di lorong, putra dan menantuku merasa bersyukur aku dapat membuka pikiran cucuku. Langkah pertama selesai, sisanya lebih mudah.

"Kau perlu terapi, Nak. Percayalah, kakekmu ini bisa menyembuhkanmu."

Cucuku menelan ludah. "Apakah begitu mengerikan pikiran ini, Kek?"

"Sangat. Jika berhenti sampai di sini, kau akan kumat dan kembali lagi ke awal." Aku mengetuk-ngetuk bagian samping kepala untuk menunjukkan di mana pikiran berada. "Kita harus bisa mengontrol pikiran kita atau kitalah yang dikendalikan olehnya, jangan dengarkan apalagi menuruti keinginannya."

"Bagaimana kita tahu?"

"Sadar kalau keinginan pikiran itu bukan keinginan kita. Sengaja dibuatnya seakan itu keinginan kita ketika kita lengah."

"Aku tidak mengerti," kata cucuku. "Tapi akan kucoba sebisaku."

"Jangan khawatir. Kakek akan membantumu."

Demikian aku membuka pikiran cucuku yang mengira dirinya adalah perempuan. Untuk seterusnya aku bertemu dan memberikan terapi pada cucuku sampai dia benar-benar sembuh. Tak lama kemudian dia menikah dan masih seorang laki-laki.


"You have power over your mind, not outside events. Realize this and you will find strength."

                                                                                         -Marcus Aurelius

Cerpen KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang