"Kau ikut besok?"
Aku menoleh ke belakang. Sosok yang barusan menyentuh pundak serta berbicara kepadaku adalah seorang pemuda jangkung berbadan kekar dalam balutan baju kemeja ketat. Rambutnya bergaya undercut dengan potongan samping tipis dan tengah yang lebat namun rapi. Abang lelakiku ini memang bisa membuat setiap pria terintimidasi.
"Eh... Aku sibuk," jawabku sambil tersenyum masam. "Pagi-pagi aku ada... urusan."
Abangku menggeleng kepala. "Kau sudah janji minggu lalu, apa kau lupa?"
Aku hendak langsung menolak, tetapi tatapan mata abang yang penuh ketegasan mengurungkan niatku. Kalau aku membuatnya kecewa, meski dia tidak marah, aku bakal merasa bersalah. Sungguh sebuah taktik menyebalkan.
"Baiklah, bang," kataku pasrah. "Tolong bangunkan aku besok."
"Tenang saja."
Abangku meninggalkan kamarku sementara aku kembali melanjutkan acara bermain gameku. Setelah beberapa lama, tiba-tiba saja ada yang membuka pintu. Aku kembali menoleh, mendapati abangku kembali masuk dengan membawa sebuah jam weker besar.
"Pakai saja wekerku, aku sudah bisa bangun sendiri." Abangku memamerkan weker besarnya sambil tersenyum lebar. "Dan kau sudah harus tidur sekarang. Sudah pukul 23.00 malam."
Aku mengangkat alis. "Aku belum ngantuk."
"Kita sudah harus bangun jam 5.30 pagi. Sebelum mandi, kita akan lari seluruh komplek jadi kau harus tidur sekarang."
"Tapi... Ada misi yang harus kukerjakan."
"Kau bilang ingin hidupmu berubah kan? Aku sudah janji akan membantumu, jadi kau juga harus membantu dirimu sendiri."
Sesaat aku tidak membalas. Sensasi panas hendak meluapi hatiku, namun aku memang memintanya untuk membantu mengubah kondisi hidupku yang tidak sehat. Hanya bermain game setiap hari tanpa kenal kehidupan luar. Katanya langkah pertama adalah berolahraga.
Aku mendesah. "Baiklah, aku akan tidur sekarang."
Membantah tiada guna. Aku termakan kata-kataku sendiri. Berberat hati, aku menutup komputer dan membereskan segala sesuatunya sebelum mematikan lampu. Abangku menyetel jam weker lalu memberikannya padaku.
"Ingat, disiplin adalah kunci pertama. Pastikan kau bangun tepat waktu."
Tentu saja aku tahu. Tapi esok harinya, ketika jam weker berdering amat keras, aku terbangun kaget sambil menarik selimutku rapat-rapat. Gerangan apa yang terjadi? Apa terjadi keributan? Semuanya berakhir saat aku, secara tidak sengaja, melihat jam weker di atas meja belajar. Rupanya dia penyebabnya. Segera telunjuk jariku menekan tombol besi kecil di atas kepala jam weker, menghentikan jerit nyaringnya. Saat aku akan kembali tidur, abangku masuk.
"Ayo bangun, Alan!" seru abangku penuh semangat. "Cuci muka dan ganti bajumu."
Aku terdiam. Ekspresi muka datar pun tercipta seraya aku merasa sepertinya dewi keberuntungan tidak berpihak padaku hari ini. Apa yang bisa kulakukan? Terpaksa mengikuti perintah abangku sambil terkantuk-kantuk. Padahal aku ngantuk berat. Kelopak mataku hampir lepas.
Setelah menggosok gigi dan mencuci muka, abangku menyodorkan sebuah baju tebal berkerudung. Aku mengerutkan kening, kenapa aku harus memakai itu sedangkan dia memakai tanktop?
"Kau akan mengerti kalau sudah melatih tekad dan mengendalikan diri nanti," jelas abangku setelah kutanya. "Ayo, kita keluar."
Kegelapan menelan komplek rumah kami. Penerangan cuma berasal dari lampu-lampu jalan yang menghiasi sudut-sudut komplek atau tempat tertentu. Bagaimana melihat jalan? Namun yang paling membuatku khawatir adalah betapa dinginnya pagi buta. Angin-angin berhembus pelan, tetapi hawa dingin menumpang padanya menembus baju tebalku. Dalam sedetik, bulu kudukku naik dan tanganku gemetar hebat. Ingin rasanya berlindung di balik selimut hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Kehidupan
General FictionDalam kehidupan, kita menjalani hari demi hari tanpa tahu setiap kejadian memiliki hikmat yang seringkali menentukan arah hidup kita. Contohnya seseorang hendak menerobos lampu merah, tapi teringat peraturan lalu lintas dan berhenti. Tiba-tiba dari...