Zaman Baru

107 2 0
                                    

"Inikah kafe yang sering kau sebut itu?" tanya Dido sembari keluar dari mobil.

"Ya. Aku ingin kau mencoba kopi khasnya."

Dido menggeleng memandang bangunan sedang berpapan nama dari kayu jati itu. "Kafe Kopi. Aku ragu dengan seleramu, Bryan."

"Kau akan tahu setelah mencobanya." Bryan menepuk ringan pundak Dido. "Ayo, kawan. Percaya saja padaku."

Dido mendesah sebelum mengikuti Bryan ke Kafe Kopi. Mereka disambut dua laki-laki pelayan di kiri kanan pintu yang menyapa penuh keramahan. Entah kenapa Dido merasa kedua pelayan tersebut tersenyum tulus. Biasanya para pekerja terkesan terpaksa, apalagi hari sudah sore seperti sekarang ini. Mereka membuka pintu mempersilahkan Bryan dan Dido untuk memasuki kafe. Seketika terdengar suara ocehan kerumunan orang dari segala arah. Sejumlah besar orang telah menduduki kursi-kursi yang tersedia sehingga ketika dilirik Dido, sudah tidak ada tempat sama sekali.

Seorang pelayan perempuan berbaju merah menghampiri mereka. "Untuk berapa orang?"

"Dua," jawab Bryan singkat. "Tempat pribadi."

"Baik. Silahkan ikuti saya."

Mereka mengikuti pelayan tersebut melewati kafe depan yang padat menelusuri sebuah lorong panjang. Tampak foto-foto para pelanggan maupun kebersamaan para pelayan bersama manajer dan pemilik mereka terpampang di sepanjang lorong yang terang berderang. Ada foto tiga gadis remaja cantik berwajah Asia sedang mengangkat masing-masing gelas, penyanyi band berpose di atas panggung kafe, pemilik dengan presiden, dan lain sebagainya.

"Kalau kafe ini begitu terkenal, kenapa aku tidak pernah mendengarnya sama sekali?" tanya Dido ingin tahu.

"Aku sudah lama memberitahumu, Dido," Bryan berujar ringan. "Tapi kau begitu keras kepala untuk diajak ke tempat baru."

"Kapan?" tanya Dido balik. "Seingatku kau tidak pernah menyebut kafe ini sampai seminggu yang lalu."

Bryan tergelak. "Jangan kita berdebat lagi, Dido. Kita sama-sama tidak menyukainya."

"Kejadian membeli pakaian itu? Ya, sebaiknya kita anggap sambil lalu saja," Dido membenarkan sambil mengangkat bahu. Pertengkaran masalah sepele dulu hampir membuat Dido memutuskan pertemanan dengan Bryan, setelah berbicara empat mata, rupanya hanya salah kaprah. "Aku tidak mau ribut masalah sepele lagi."

"Aku senang kita bisa saling mengerti."

"Dan apa maksudmu 'Tempat pribadi'?" Dido bertanya curiga. "Jangan mencemariku seperti dirimu."

"Hei, aku cuma suka nonton seri anime dan itu bukan pencemaran," bantah Bryan. "Kau sendiri suka nonton seri drama China."

"Lebih realistik daripada serimu," lontar Dido tidak mau kalah.

"Tetap saja sebuah drama." Bryan terkekeh, tangannya menunjuk ke depan. "Sebentar lagi kita sampai. Kau akan tahu apa maksudku."

Keluar dari lorong, Dido memperhatikan bahwa mereka dibawa ke sebuah ruangan yang lebih besar dari kafe depan. Meja-meja sedemikian disusun rapi memberi jarak cukup luas satu sama lain dan tersebar di seluruh area. Yang menjadi keunikan adalah bahwa setiap meja ditutupi tabung kaca. Untuk meja kecil, ditutupi kaca persegi, sedang meja besar ditutupi kaca persegi panjang. Pokoknya setiap kaca mengikuti bentuk meja. Beberapa pelanggan terlihat bersuka ria dalam kaca-kaca tersebut. Ada yang kelihatan heboh, ada pasangan yang ditemani cahaya lilin, dan lain-lain. Sudah aneh, tidak terdengar satu suara pun juga.

Dido menelan ludah. "Maksudmu berada dalam kaca kedap suara?"

"Ya. Kita bisa berbicara dengan tenang tanpa ada satupun gangguan."

Pelayan tersebut membawa mereka ke meja paling kanan di sudut ruangan. Mempersilahkan mereka masuk menduduki kursi yang tidak jauh berbeda dengan kafe depan. Sebuah lampu bulat terpasang pada langit-langit, memancarkan cahaya putih terang berderang. Sungguh aneh, menurut Dido, kenapa harus dibuat begitu padahal ruangan sudah cukup terang.

"Dua kopi khas dan sepiring kentang goreng," pesan Bryan.

"Satu teh pahit," tambah Dido. Dia menatap Bryan yang keheranan. "Apa?"

"Kapan kau minum teh pahit?"

"Cuma belajar minum saja. Aku sudah terlalu gemuk sekarang, teh bisa membersihkan lemakku."

Bryan memperhatikan perawakan Dido dari atas kepala sampai perut besarnya sebab sisanya tertutupi meja. Memang teman baikknya itu sudah cukup gemuk, badannya amat buntal dan wajahnya yang bengkak memberi kesan dia bisa meledak kapan saja. Berbeda dengan dirinya yang tinggi, jangkung, dan sedikit berotot. Sudah lama dia berolahraga demi menjaga kesehatan. Mungkin temannya sudah tobat.

Bryan tersenyum lebar. "Aku bisa mengajarimu hidup sehat kalau kau mau."

"Tentu saja," Dido langsung menerima, "setelah aku terbiasa minum teh pahit tentunya."

"Dari mana kau baca tentang teh pahit?"

"Artikel kesehatan."

Bryan mengangguk berulang kali. "Menarik, aku harus mengeceknya nanti."

"Kurasa berbicara tanpa didengar orang lain boleh juga." Dido bersandar ke kursi kecilnya yang menimbulkan suara derik. "Meski konsep aneh."

"Mari kutunjukkan yang lain."

Bryan menekan sebuah tombol merah di atas meja yang baru disadari Dido. Persis tombol ditekan, sekeliling mereka berubah drastis menjadi area pantai yang amat luas. Langit terik memancari mereka, ombak-ombak terlihat berlomba satu sama lain menuju ke pantai, dan terdengar desir angin serta kicauan burung-burung. Dido tersentak bukan main. Tangannya spontan mengenggam erat pinggir meja dan kepalanya mundur ke belakang. Sesaat matanya melihat sekeliling.

"Astaga! Apa yang terjadi?!" serunya.

Bryan tertawa. "Selain kopinya, tempat pribadi ini mampu menciptakan suasana suatu tempat semirip mungkin. Mari kutunjukkan yang lain."

"Sebentar," tahan Dido. "Biar aku yang mencobanya."

"Silahkan."

Tanpa ragu, Dido mengulurkan tangannya ke tombol merah. Namun jari telunjuknya menekan tombol dalam adegan lambat berulang kali. Penekanan pertama menciptakan hutan sejuk, berikutnya padang gurun malam yang agak dingin dengan sinar rembulan terang, dan terakhir lingkungan atap gedung pencakar langit. Setiap suasana membuat Dido tergunggah. Mulutnya terganga tidak percaya. Dan sekarang dia mengerti hal aneh yang dilakukan tamu-tamu kafe lainnya dalam kaca.

"HEBAT SEKALI!" Dido berseru tinggi. "Bryan, kau sering kemari?"

Bryan mengangguk. "Sering kudatangi untuk mencari inspirasi. Walau dikenakan biaya tambahan untuk semua fitur ini."

"Mahal?"

"Terjangkau sih, menurutku."

Dido mengerutkan kening. "Terjangkau untukmu belum tentu untukku."

"Hahaha, mungkin kau benar. Tapi teknologi ini baru percobaan, jadi ke depannya akan semakin murah."

"Perkembangan zaman memang cepat." Dido menghela napas. "Dulu orang naik kuda, sekarang mobil, lalu selanjutnya apa? Kuda besi terbang?"

Bryan tersenyum lebar. "Kenapa semakin mundur? Harusnya mobil terbang."

"Itu maksudku." Dido menjentikkan jari. "Sekarang sudah masuk virtual reality. Benar-benar zaman baru sudah di depan mata."

"Makanya kita harus sering tahu dan beradaptasi, jika tidak mau dilindas zaman."

Pelayan mengetok pintu membawa pesanan Bryan dan Dido. Selanjutnya kedua sahabat karib itu bercakap-cakap selama beberapa jam membahas berbagai macam hal. Cerita masa lalu, kehidupan sekarang, dan masa depan. Namun mereka setuju bahwa mereka harus berjuang. Terutama Dido. Dia sadar harus menguruskan badan dan memutuskan untuk memulainya hari itu juga.

Perkembangan zaman tak bisa dihindari. Pilihannya hanya beradaptasi atau tergilas.

Cerpen KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang