"Apa lahan pertanian selalu sepanas ini?" tanyaku, menatap langit terik dengan sebelah tangan menaungi mataku.
Atasanku menoleh, tersenyum. "Kau akan terbiasa, sebentar lagi kita tiba."
Aku dan atasanku dalam misi menjumpai klien kami, Pak Asto. Beliau adalah pemilik lahan pertanian luas yang menyuplai gandum sebagai bahan baku membuat tepung untuk perusahaan kami. Selama 3 tahun bekerja, aku hanya berbicara dengan Pak Asto melalui telepon dan beliau adalah orang paling ramah yang pernah kukenal. Senang rasanya dapat bertatap muka, awalnya, sampai berada di lahan pertaniannya.
Aku mengusap keringat dahiku. "Belum sampai juga?"
"Anak muda jangan mengeluh," saran atasanku. "Itu, Pak Asto mengirim delman."
Aku mengangkat alis. Delman? Bukankah transportasi mirip becak yang ditarik seekor kuda? Siapa di zaman moderen begini masih naik delman? Harusnya minimal sepeda motor atau mobil. Tapi memang sebuah delman datang menjemput kami. Delman berkayu mahoni itu memiliki ukiran artistik unik, menyediakan dua tempat duduk berhiaskan manik-manik, dan berkusir seorang pak tua bertopi caping yang kurang selaras dengan delman itu.
"Hai, pak. Lama tak bersua," sapa atasanku, naik dahulu ke dalam delman. "Gimana keadaan, Bapak?"
"Baik," balas sang kusir, menyunggingkan seulas senyum. "Kau bawa orang baru?"
"Sudah lama bekerja tapi baru pertama kali kubawa ke sini."
"Hahaha, jadi ingat kau dulu."
Keduanya tertawa riang. Sepertinya sudah saling mengenal sejak lama. Selama perjalanan, hanya tampak lahan luas penuh gandum kuning keemasan yang dibelai angin ke sana kemari. Menari-nari bak penari opera. Beberapa tempat berdiri pondok-pondok besar di mana para petani berkerumun sekedar makan siang atau bercengkeraman. Sungguh beda dengan kota, semuanya bangunan dan lampu serta orang-orang egois. Apakah kondisi ini yang membuat Pak Asto sangat ramah? Mungkin saja.
"Halo, selamat datang!" Pak Asto menyambut kami sambil merentangkan kedua tangan. "Maaf, tadi ada kendala sehingga tidak bisa menjemput kalian di depan."
Atasanku menyambut uluran tangan Pak Asto. "Tak apa. Kami tahu bapak sibuk."
"Dan diakah orang baru itu?" tanya Pak Asto, menatap ke arahku. "Sungguh pemuda tampan."
Aku tersenyum sipu seraya menjabat tangan Pak Asto. "Aku Dian, Pak."
Kupikir Pak Asto adalah seorang laki-laki tua gemuk, rupanya laki-laki brewok bertubuh besar layaknya pengulat profesional. Memiliki alis tebal yang menunjukkan ketegasan serta mata lebar penuh keramahan. Dia mengenakan batik dan topi kupluk khas orang Batak.
"Terima kasih selalu membantuku, Dian." Pak Asto tersenyum lebar. "Ayo, kita ke pendopo saja."
Kami melewati rumah Pak Asto yang sungguh mewah. Bergaya moderen-klasik di mana rumah persegi panjang itu beraksesoris anyaman rotan, serat, rami, dan dilengkapi jendela-jendela minimalis yang biasa dilihat di apartemen-apartemen. Pendoponya juga tidak kalah, sebuah bangunan menjulang ditopang struktur empat tiang kokoh, berkanopi sekat-sekat rami pola segitiga, dan berlantai kayu-kayu mahoni. Di tengah-tengah pendopo itu tersedia sebuah meja bundar yang dikelilingi lima kursi kayu klasik.
Saat kami duduk, seorang pelayan perempuan datang menyajikan teh serta makanan ringan untuk kami. Aroma tehnya amat menggungah selera. Aku berusaha menahan diri sementara atasanku dan Pak Asto mulai berbincang.
"Kami dapat informasi anda membeli banyak tanah baru dan ingin anda memasok 30 ton gandum, 12 ton lebih banyak dari kontrak sebelumnya," terang atasanku, langsung masuk ke pokok pembicaraan. "Kami akan memastikan harga per kilogram naik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Kehidupan
General FictionDalam kehidupan, kita menjalani hari demi hari tanpa tahu setiap kejadian memiliki hikmat yang seringkali menentukan arah hidup kita. Contohnya seseorang hendak menerobos lampu merah, tapi teringat peraturan lalu lintas dan berhenti. Tiba-tiba dari...