Bangku Bus

296 4 3
                                    

"Bus kita belum datang?" tanyaku pada atasanku yang sedang memandang keramaian jalan raya dengan raut khawatir.

Merespon pertanyaanku, atasanku merogoh sebuah ponsel dari kantung celananya, menekan tombol-tombol bernomor dan menempelkan ponsel ke telinga. Beberapa detik berlalu, seseorang di sana menjawab teleponnya. Mereka berbincang-bincang agak lama. Sesekali terdengar caci maki juga.

"Sebentar lagi tiba. Jalanan sedikit macet," terang atasanku setelah selesai mematikan ponselnya.

"Baiklah. Akan kukabari yang lain" jawabku.

Dengan langkah mantap aku memasuki kantor. Melihat-lihat sebentar kemudian menghampiri kumpulan muda-mudi di sudut ruangan. Beberapa sedang duduk di kursi dan sebagian besar berdiri dengan berbagai macam gaya.

"Sebentar lagi bus datang," kataku pada mereka yang mau mendengarkan. Pandanganku terakhir teralih kepada seorang pemuda berambut paling pendek. "Kau dengan kan, Andrean?"

"Untunglah! Aku sudah bosan berdiri sedari tadi."

Kami berdua pun bercanda tawa sampai atasanku mendadak masuk memberi kabar bahwa bus telah tiba. Secepatnya kami mengambil barang-barang kami lalu beramai-ramai keluar. Di halaman kantor, tiga bus besar sudah terparkir rapi. Masing-masing berkode Bus A, Bus B, dan Bus C. Berselang, aku diintruksikan ke Bus B.

Aku menapaki kakiku ke dalam bus dan mendapati seluruh bangku penuh, kecuali tempat duduk sebelah kiri di depan tempat duduk paling belakang. Di bagian dalam tempat duduk itu Andrean sedang duduk termenung.

"Andrean, boleh aku duduk di sini?" tanyaku.

"Boleh saja," katanya ringan. "Kau duduk di dalam saja, biar aku di luar."

Wah! Teman yang baik, aku memang lebih suka duduk di bagian dalam sebab bersebelahan dengan jendela bus. Selama perjalanan ke Pulau Samosir aku akan bisa menikmati pemandangan kota serta keindahan alam.

"Terima kasih, Andrean," ujarku senang. Namun ketika aku duduk, bangkunya langsung terjungkal ke belakang hingga aku hampir terjatuh. Aku terkejut bukan main. "Ada apa dengan bangkunya?!"

"Mungkin rusak," kata Andrean, mengangkat bahu. "Kau harus duduk lebih depan agar posisimu seimbang."

Wajahku merah padam. "Jadi?"

"Begitulah," sahut Andrean, tidak menunjukkan rasa bersalah.

Sepanjang perjalanan aku duduk dalam ketidaknyamanan. Walau melakukan berbagai alternatif, dari menyangga menggunakan tas, duduk beda posisi, dan cara lainnya, bangku itu tetap saja terjungkal ke belakang. Aku marah bercampur geram, apa yang bisa kulakukan? Semua bangku penuh. Andrean baru merasa bersalah setelah melihat kesusahanku. Dia mencoba membantu, tetapi tak pernah menawarkan bangkunya. Terima kasih, Andrean. Kau teman paling pengertian bahkan pulang pun kau tetap membiarkanku duduk di bangku dalam itu. Rupanya sifat aslimu begitu!

"Saat berhadapan dengan situasi serius, teman palsu akan muncul."

-Widdy, Author of Cerita Bijaksana

Cerpen KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang