"Duduklah dulu," kataku, mempersilahkan putraku menduduki sebuah sofa empuk warna hijau di ruang bacaku.
Aku juga ikut duduk, berseberangan dengannya. Putraku tampak terkesima dengan ruang bacaku. Matanya mengerjap melirik rak-rak buku yang menempel pada dinding, buku-buku unik setebal kamus di atas meja, dan barang-barang antik pajangan. Memang aku seorang pak tua yang suka membaca dan koleksi barang antik.
"Jadi, kudengar kau mau menceraikan istrimu?" tanyaku, bernada serius dan dalam.
Putraku terkesiap sebentar lalu menghela napas. "Aku memang tak bisa menyembunyikan sesuatu hal darimu, Ayah."
"Dan kau sendiri ragu, bukankah tujuanmu datang untuk membicarakan hal ini, bukan?"
Putraku menelan ludah. Sepertinya dia tidak menyangka bahwa aku bisa membaca isi pikirannya. Tentu saja. Aku telah membesarkan dan hidup bersama putraku selama 30 tahun sebelum dia meninggalkanku untuk hidup berkeluarga 12 tahun yang lalu. Dirinya adalah seorang pria sukses, memiliki lima perusahaan, dan hidup mewah. Namun, sekarang dia malah selingkuh dengan sekretaris mudanya.
"Benar, Ayah," jawabnya. "Aku..., Aku tidak mencintai Falyn lagi. Tepatnya cintaku hilang sudah."
Kedua tanganku kulipat. "Kenapa kau bisa berpikir demikian?"
"Entahlah, Ayah. Tiga tahun belakangan, aku kehilangan gairah terhadap istriku dan semuanya terasa hampa. Sungguh amat sulit kujelaskan."
"Bagaimana dengan kedua putramu jika kau bercerai?"
"Aku akan menanggung mereka," sahut putraku tegas. "Aku tetaplah ayah mereka."
"Akankah mereka menganggapmu sebagai sosok ayah setelah kau meninggalkan ibu mereka?"
Putraku terdiam, tertunduk malu.
Aku berdeham. "Kau tahu kenapa kau tidak mencintai istrimu lagi?"
"Kenapa?"
"Hitung berapa kali kau berada di rumah selama kau mengembangkan usahamu? Kapan terakhir kali kau menghabiskan waktu bersama istri dan anak-anakmu?"
Putraku membuka telapak tangannya, menerka-nerka sambil menggerak-gerakkan jemarinya. Pikirannya terfokus, namun gerak-geriknya menunjukkan tanda-tanda kebingungan. Aku tahu berapa lama, tak sampai sebulan dalam satu tahun. Dia terlalu sibuk terbang ke sana ke mari dan meninggalkan semuanya.
"Aku tidak tahu."
"Selama kau pergi, kau hanya bersama sekretarismu itu. Apakah kau pikir kau tidak bisa jatuh hati padanya? Gadis muda bertubuh elok, cantik, dan pintar, coba pikirkan."
Putraku tidak berani komentar. Wajahnya memperlihatkan rasa bersalah, tetapi tentu saja dia anak keras kepala sepertiku. Apa yang dia mau akan didapatkannya selama dia menginginkannya. Itulah kenapa dia bisa membangun lima perusahaan.
Putraku mengepalkan tangan lalu membalasku, "Ayah! Aku tetap akan menceraikan Falyn. Kau tak bisa menghentikanku!"
"Memang anak keras kepala." Aku menggeleng. "Setelah kau menceraikan Falyn, hidup bersama sekretarismu, suatu hari dia akan meninggalkanmu untuk laki-laki yang lebih kaya dan muda saat kau tua."
Putraku mendengus kasar. "Aku tidak percaya kata-katamu!"
"Aku menjadi tua bukan untuk ditunjukkan dan aku punya teman-teman yang mengalami hal demikian."
"Aku tetap akan menceraikan Falyn, Ayah," kata putraku dengan nada pelan namun serius. "Dia istriku. Aku berhak menceraikannya!"
Aku mengangguk setuju. "Kalau begitu, kau bukan putraku lagi."
Mata putraku membelalak keluar, tak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. "Kau tidak boleh berkata seperti itu, Ayah! Jangan kau campurkan masalah keluargaku dengan hubungan kita!"
"Kau anakku, aku memiliki hak yang sama atas dirimu seperti kau memiliki hak yang sama atas istrimu," kataku tegas. "Apa bedanya yang kulakukan dengan yang kau lakukan?"
Putraku tercengang. Dia mengusap dahinya perlahan sambil mengembuskan napas. Aku tahu dia menyadari apa maksudku. Tak ada argumen yang bisa membatah argumen itu.
"Apa yang harus kulakukan? Aku tidak cinta lagi padanya!" seru putraku, memukul pahanya.
"Ketika cinta hilang, kesetiaan mengambil tempatnya," gumamku sambil menatap mata hitam putraku. "Kau tak bisa mencintai tanpa kesetiaan, tetapi kesetiaan menggantikan cinta ketika cinta itu pudar. Ingatkah kau akan janji pernikahanmu? Setia sampai mati."
Putraku mengalihkan pandangannya dariku. Rasa takut bercampur khawatir tergurat di seluruh mukanya. Kerut di dahinya tampak jelas. Dan dia menggeleng-geleng kepala, entah karena tidak mau atau sulit menerima, aku tidak tahu.
"Kau sudah besar, Nak. Buat keputusanmu. Aku hanya bisa memberimu nasihat," kataku sambil bangkit berdiri. "Kutinggalkan kau sendiri sebentar agar kau bisa berpikir. Apapun keputusanmu, aku akan menghormatinya. Hanya, berpikirlah secara objektif."
Setelah aku kembali, putraku kelihatannya masih sedikit bimbang. Tetapi aku yakin kurang lebih dia tahu apa yang telah kuutarakan. Aku sendiri yang membesarkannya, aku tahu selak beluk pikiran, perbuatan, dan ambisinya. Keesokan harinya, dia memberiku jawaban bahwa dia tetap akan bersama Falyn dan memecat sekretarisnya demi menjaga dirinya. Baru kemudian diketahui sekretaris mudanya itu rupanya selingkuh dengan pria lain, untunglah putraku mengambil keputusan yang tepat.
"Ketika cinta hilang, kesetiaan mengambil tempatnya."
-Widdy, Author of Cerita Bijaksana
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Kehidupan
General FictionDalam kehidupan, kita menjalani hari demi hari tanpa tahu setiap kejadian memiliki hikmat yang seringkali menentukan arah hidup kita. Contohnya seseorang hendak menerobos lampu merah, tapi teringat peraturan lalu lintas dan berhenti. Tiba-tiba dari...