Arah jarum jam menunjukkan pukul 8 malam. Aku menghela napas, pacarku terlambat. Padahal kami janjian satu jam lebih awal, apakah sedang bersama laki-laki selingkuhannya? Semoga saja tidak.
Setelah menunggu 30 menit lebih lama, aku rasa dia tidak akan datang lagi. Tangan kananku kuangkat ke atas, hendak memanggil pelayan kalau saja seorang gadis mungil berambut panjang ikal tidak mendadak muncul sambil terengah-engah memasuki kafe. Gadis itu terlihat mencari seseorang sambil mengatur napasnya. Berwajah bersalah saat mendapati aku sedang duduk sendirian di sudut kafe dengan rasa kekecewaan.
"Maaf, aku terlambat," pinta pacarku, duduk berseberangan dariku. "Aku tadi terjebak macet."
Aku mengangkat alis. "Kau naik apa, Yana?"
"Mobil, bersama teman-temanku, tapi tadi aku diberhentikan jauh dari sini karena panjangnya antrian kendaraan," kata Yana, mengibaskan rambut hitamnya. "Makanya aku tergesa-gesa kemari."
Aku menyunggingkan senyum manis. Kurasa itu adalah sebuah kebohongan, karena tadi aku sudah menelepon teman-temannya menanyakan apakah Yana bersama mereka. Nyatanya tidak. Perlahan aku bersandar pada kursi.
"Kalian ke mana?"
"Ke Mall," jawab Yana ringan, mengangkat bahu. "Beli barang-barang dan lain sebagainya."
"Lalu di mana barang-barangmu?" tanyaku pelan
"Aku titipkan pada teman-teman. Aku takut kau sudah menunggu lama," sahut Yana, merasa wajar. Memang akting anak drama sungguh pandai. "Kenapa? Kau agak aneh."
"Hahaha," tawaku hambar.
Kulipat kedua tanganku seraya menatap Yana yang balas menatap dengan mata penuh perhatian. Lembut serta rindu. Tatapan cinta yang kuharap, sayang, aku kurang bisa melakukan tatapan itu sekarang. Semua akibat perselingkuhannya. Dan seketika dia mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Aku maupun dia tahu ada yang salah.
Aku merogoh beberapa lembar foto dari saku bajuku dan meletakkan mereka di atas meja. "Tolong jelaskan hal ini."
Mata Yana melebar kaget. Foto-foto itu bukan foto biasa, melainkan foto-foto dirinya bersama seorang lelaki tampan, tinggi, serta berbadan tegap. Dia dan laki-laki itu saling merangkul dan bermesraan. Menyakitkan hatiku, apalagi laki-laki itu baru saja dikenalkan Yana seminggu yang lalu sebagai teman masa kecilnya, bukan pacar barunya. Dibakar cemburu, kukepalkan tanganku kuat-kuat.
Yana panik. Dia memeriksa foto-foto tersebut satu per satu dengan gelisah. Segala tindak tanduknya ketahuan, tak ada yang tersembunyi.
"Ada alasan aku melakukan hal ini," kata Yana dengan nada gemetar. "Yang pasti aku tidak berpacaran dengannya, tapi..."
"Tapi?" tanyaku remeh
Yana menegakkan bahu dan berusaha tegar. "Aku sengaja melakukannya agar kau mau membelaku."
Aku mengangkat alis. Apa maksud perkataannya? Membelanya? Yang benar saja?! Namun aku mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri agar emosiku tidak naik. Sebagai laki-laki dewasa, aku harus bisa mengontrol diri.
"Coba jelaskan," pintaku, memberi isyarat "Silahkan" menggunakan tangan kananku.
"Begini, aku bingung kenapa kau tidak melarangku ke mana-mana. Tak takutkah kamu kalau aku jatuh cinta dengan pria lain?"
Mata Yana sedikit berkaca-kaca. Beberapa kali dia mengerjap-ngerjap, aku ragu itu bukan akting. Namun sepertinya beban pikiran itu sudah lama dipikulnya tanpa sepengetahuanku. Aku tidak mengerti, jadi tetap kubiarkan Yana menceritakan semuanya.
"Laki-laki itu memang teman masa kecilku," lanjut Yana. "Aku meminta bantuannya agar aku tahu apakah kau benar-benar mencintaiku atau tidak?!"
Air mata Yana meledak. Kata-katanya meluncur secepat air matanya dan orang-orang di dalam kafe, termasuk pelayan dan kasir, memutar kepala mereka ke arah meja kami.
"Kau tidak peduli padaku!" isak Yana. "Aku pergi ke mana, kau tidak tanya! Aku sama siapa, kau pun tidak peduli! Jadi apa aku ini masih pacarmu atau orang asing?! Bisakah kau bayangkan perasaanku selama ini?!"
Suasana terasa mencekam. Air mata Yana terus mengguyur pipi tembennya sampai aku tidak tahan dan memberikan secarik tisu yang ragu-ragu diambilnya sebab aku memasang wajah galak. Kerutan wajahku merapat tajam ketika kata-katanya tadi memberikan arti bahwa selama ini aku tidak peduli dan tidak menganggapnya sebagai pacarku. Jujur, aku tersinggung.
"Terus?"
"Dia setuju dan mengajakku kencan," kata gadis berwajah Asia itu, masih mengusap air matanya. "Dia begitu baik dan peduli. Menanyaiku apa yang sedang kulakukan dan di mana aku berada. Aku..., aku..."
Untuk kali ini, Yana terdiam sebentar. Sulit melanjutkan. Aku tahu ke mana arah percakapan ini, baik atau buruk tetap harus diluruskan. Terutama bagi para tamu yang sesekali melirik dan menunggu reaksiku.
Aku mendesah panjang. "Kau punya hati dengan teman masa kecilmu itu, bukan?"
Yana tidak menjawab. Kepalanya menunduk, entah takut melihat wajahku atau takut aku melihat ekspresinya, seperti seorang anak kecil yang ketahuan mencuri. Rupanya gadis cantik berprestasi yang kupacari sejak kuliah ini kurang memahami sifatku. Penuh kelembutan, aku meraih tangan kanannya.
"Aku cinta padamu, Yana," kataku tulus. "Tapi bukan berarti aku tidak peduli padamu. Aku hanya tidak ingin mengekangmu seperti teman-temanmu yang dikekang pacar mereka. Apa kau mau aku seperti mereka?"
Yana, masih tertunduk, menggeleng kepala. Tetapi tentu saja jawaban tadi tidak cukup, perempuan ingin pasangannya peka, jadi aku kembali berkata-kata.
"Baiklah, aku akan lebih perhatian padamu dalam batas wajar," ujarku, meski aku tidak yakin bagaimana cara yang tepat. "Bagaimana?"
Kali ini Yana mengangguk setuju. Lalu perlahan kupegang dan kuangkat dagunya ke atas agar mendongak ke arahku dan untung saja keadaannya jauh lebih baik. Dia terlihat berseri setelah tahu aku tidak marah, malah tersenyum.
"Kau juga harus berjanji tidak berhubungan dengan teman masa kecilmu itu lagi, Ok?"
Yana langsung menyahut, "Aku janji."
Mulutku berkata demikian walau hatiku masih mencurigai Yana. Biarlah, kuberikan dia kesempatan sementara aku berfokus melakukan apa yang harus kulakukan. Kuucapkan selamat malam ketika Yana hendak tidur dan selamat pagi ketika dia bangun. Meneleponnya pada jam istirahat kerja, menemaninya berbelanja, menanyainya sedang berada di mana serta dengan siapa saat berpergian, dan lain sebagainya. Usahaku tidak sia-sia sebab Yana pun melakukan bagiannya. Dia mengusir teman masa kecilnya dari ruang lingkupnya dan menganggapnya hanya teman belaka. Untuk memperlihatkan komitmen lebih jauh padaku, Yana bahkan belajar membuat kue dan memaksaku datang ke rumah hampir setiap hari untuk mencicipi kuenya. Mungkin Yana merasa beruntung memiliki aku, tetapi mungkin akulah yang paling beruntun memikinya. Rasa curigaku pun pudar, digantikan rasa cinta kepada Yana yang semakin tumbuh kian hari.
"Chances are there not just to correct mistakes. But to determine worth."
-Anonymously
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Kehidupan
General FictionDalam kehidupan, kita menjalani hari demi hari tanpa tahu setiap kejadian memiliki hikmat yang seringkali menentukan arah hidup kita. Contohnya seseorang hendak menerobos lampu merah, tapi teringat peraturan lalu lintas dan berhenti. Tiba-tiba dari...