Mata

368 4 0
                                    

"Kak Miriam."

"Huh?" sahut Miriam dari balik monitor. Dia bergeser ke samping agar dapat melihat juniornya. "Kau memanggilku, Aldo?"

"Ya. Aku ingin tahu bagaimana pendapat kakak tentang kacamataku yang baru."

Aldo mengangkat alis berulang kali dengan wajah nyengir. Kacamatanya ikut terangkat, membuat ekspresi Aldo sungguh menjengkelkan. Miriam hanya menggeleng kepala.

"Sok kali kau, Aldo," komentar Miriam kesal. "Kacamata baru bukan berarti penampilan baru."

"Serius? Orang-orang bilang aku tampan."

"Tampan dari mana?"

"Dari segala sisi."

Aldo merentangkan tangan bagai seekor burung merentangkan sayap lebar-lebar. Senyum lebar merekah. Tiba-tiba menjentikkan jari lalu menunjuk diri sendiri.

"Aku keren loh."

Miriam memutar bola mata. "Entah kenapa rasanya mau muntah, padahal biasanya suasana kantor di pagi hari membuatku semangat."

"Kakak kurang sehat kali," lontar Aldo, masih nyengir.

"Penyebabnya kamu," Miriam menunjuk Aldo, "Jijik kali aku lihat sikapmu itu. Mati saja sana."

Baik Miriam maupun Aldo tergelak. Mereka memang dekat dan suka bercanda satu sama lain bila keadaan mulai membosankan. Tetapi pagi itu Aldo memang sedang ingin pamer.

"Tapi kak, kenapa yah minus mataku naik lagi?" tanya Aldo penasaran.

"Berapa sekarang?"

"Lima ratus."

Mata Miriam melebar. "Naik setinggi itu dari 350? Kau melakukan apa saja?"

"Padahal aku sudah jaga mataku loh, kak," jelas Aldo dengan kening berkerut. "Jarak mata ke komputer sudah lebih dari tiga puluh centimeter. Sudah tidak lihat ponsel sambil tidur-tiduran, makan wortel juga sudah mulai teratur. Semua yang kakak sarankan sudah kulakukan."

"Hm..." Miriam berpikir sejenak. "Yakin sudah semua?"

"Sudah semua."

"Mungkin ada kebiasaanku yang belum kuanjurkan," celetuk Miriam. "Kau biasa tidur jam berapa?"

"Tengah malam."

"Apa kau langsung tidur setelah melihat ponsel."

Aldo mengangguk.

"Pantas. Sebaiknya kau tidak melihat alat-alat elektronik satu jam sebelum tidur. Agar tidurmu maksimal, yang berarti cukup istirahat untuk matamu."

"Haruskah?"

Miriam menatap lekat mata Aldo. "Kau tidak mau mata rusak seperti temanmu, bukan?"

"Memang sih," jawab Aldo malas. "Jadi apa yang harus kulakukan? Aku kan juga belum ngantuk?"

"Baca buku saja."

"Komik?"

"Boleh. Pokoknya jangan elektronik, sinar biru elektronik bisa merusak mata kalau dibiarkan terlalu lama."

"Akan kucoba."

"Ada satu lagi," tambah Miriam sambil mengacungkan satu jemari. "Kulihat kau tidak tidur siang."

"Aku tidak suka tidur siang, kak." Aldo bermuka datar. "Lebih baik aku main game."

"Bukan beneran tidur, loh, Aldo," Miriam menegaskan. "Kau sering lihat aku tidur siang walau tinggal 10 menit, kan? Itu bukan karena aku ingin tidur, tapi mengistirahatkan mataku."

"Yang benar?" Aldo mengangkat alis. "Mengistirahatkan mata dengan tidur siang?"

"Yup. Jadi istirahat mata di siang dan malam hari."

Sejenak Aldo merenung. Memikirkan perkataan senior yang dihormatinya.

"Minus mata kakak masih 400?"

"Sudah lama tetap seperti itu karena kebiasaanku menjaga mata."

"Kurasa tidak salahnya aku coba."

"Ngomong-ngomong," lanjut Miriam penuh ingin tahu. "Bagaimana nasib mata temanmu itu? Kau bilang dia susah melihat cahaya kuning di malam hari kan?"

"Sekarang dia masih rutin menggunakan obat tetes mata. Dosisnya makin banyak karena memang pekerjaannya menuntut penggunaan mata dalam waktu panjang."

"Sayang sekali," Miriam prihatin, "mengobarkan mata demi pekerjaan."

"Dia sendiri ingin kerja tempat lain. Tapi belum cari."

"Yang penting kita jaga mata kita baik-baik sajalah."

"Makasih sudah beri saran, kak."

"Sama-sama, Aldo."

Miriam tersenyum senang. Bisa membantu sang junior memang tugas seorang senior. Terutama menghadapi hal yang sudah pernah dialaminya. Jadi sang junior tidak perlu kalang kabut atau mencari solusi entah ke mana seperti dia dulu.

Jaga kesehatan mata sebelum terlambat di era teknologi zaman sekarang

Cerpen KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang