Berjualan di Hari Imlek

177 3 5
                                    

"Bu, satu bungkus mie pangsit," pesanku. "Porsi lengkap."

"Siap."

Aku mengambil tempat dudukku di kursi terdekat dan menatap ponsel selama beberapa saat. Hari-hari imlek memang selalu ramai. Postingan dalam media sosial penuh dengan ucapan selamat tahun baru imlek. Aku terus membaca ucapan-ucapan itu sampai Ibu menyodorkan pesananku.

Aku menyerahkan sejumlah uang. "Terim kasih, Bu."

"Terima kasih, Nak. Dan selamat tahun baru imlek."

"Oh iya! Hari pertama dan kedua imlek sebelumnya, kenapa ibu tidak berjualan? Aku sampai cari-cari."

"Aku libur. Berkumpul bersama keluarga."

"Tapi kalau ibu berjualan, sementara banyak penjual tutup, tentu akan dapat untung besar, bukan?" bisikku. "Para pelanggan mereka akan membeli mie pangsit ibu."

Ibu itu memukul ringan bahuku. "Hahaha, aku pun ada berpikiran seperti itu. Namun aku rasa relasi dengan keluarga lebih penting daripada uang, jadi aku memilih libur."

"Kenapa? Bukankah ketika butuh uang, saudara-saudara tidak akan membantu?" tanyaku polos. Aku sering mendengar kalau bicara uang, saudara pun bisa jadi orang asing.

"Tidak semua saudara seperti itu, lagi, bukan uang yang menolong kita kala masalah datang tapi keluarga kita," terang sang ibu sambil membereskan barang. "Bahkan sesalah apapun kita, keluarga tetap membela kita. Bukankah kau pernah kena?"

Aku ingat! Dulu aku pernah dituduh korupsi dan hampir dijebloskan ke penjara kalau bukan karena keluargaku yang mati-matian membela dan menolongku. Aku sangat berterima kasih pada mereka. Aduh, kenapa aku bisa lupa? Mungkin uang sudah membutakanku.

Aku mengembuskan napas. "Ibu benar. Relasi keluarga jauh lebih penting."

"Kau akan mengerti ketika berkeluarga nanti."

"Baiklah. Terima kasih, Bu," ucapku, mulai melangkah keluar toko seraya melambai tangan.

"Hati-hati, Nak."


"Darah lebih kental daripada air."

-Anonymously

Cerpen KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang