Ketika teman-temanku berlarian pulang saat bel terakhir berbunyi, aku menyempatkan diri ke kantor guru. Ada pertanyaan-pertanyaan terkait beasiswa yang ingin kutanyakan pada Kepala Sekolah. Aku mengembuskan napas dan mengetok pintu ruang Kepala Sekolah.
"Masuk."
Aku membuka pintu, memasuki sebuah ruangan persegi yang bersih. Tumpukan berkas tertata rapi di ujung kiri ruangan menunjukkan pekerjaan-pekerjaan penting, lemari penuh buku menempel pada dinding di sebelah kanan memberi kesan terpelajar, dan pajangan piala-piala sungguh memperlihatkan prestasi sekolah.
Di balik meja di tengah ruangan, duduk seorang bapak gendut berwajah cerah. Meski penampilannya tidak mendukung, dia tergolong cerdas dan kebijakannya sangat mendorong siswa-siswi belajar. Dialah alasan kenapa aku bisa mendapat beasiswa.
"Apakah kau sudah membawa semua berkas yang dibutuhkan?" tanya kepala sekolah.
"Lengkap."
Kepala sekolah mempersilahkanku duduk dan kami mulai berdiskusi. Aku disuruh mempelajari bahasa Inggris, mempersiapkan peralatan sekolah, passport dan lain sebagainya. Pertanyaan-pertanyaanku juga dijawab sehingga aku paham segala sesuatunya. Dan saatnya pertanyaan terakhir.
"Pak, kenapa beasiswa hanya didapat oleh orang-orang berada?" tanyaku
Kepala sekolah mengangkat alis. "Kenapa kau berpikir demikian?"
"Karena aku dan peserta-peserta beasiswa lain termasuk orang berada. Apakah orang yang kurang mampu tidak bisa mendapatkannya?"
Untuk sesaat, kepala sekolah menggangguk sambil bersedekap. Mulutnya terkatup rapat, sulit mengungkapkan jawaban yang pantas. Kerut terlihat pada keningnya, menandakan kekhawatiran dan keengganan.
Kepala sekolah menghela napas. "Bukan tidak bisa, kurang keinginan saja."
"Maksud bapak?" tanyaku bingung.
"Kau tentu tahu bahwa bapak mengumumkan beasiswa kepada setiap murid di sekolah ini beberapa minggu yang lalu," jelasnya rinci. "Dan memang persyaratannya sulit, namun hanya kalian saja yang mau berusaha."
"Cuma itu?"
"Ya," jawab kepala sekolah, raut wajahnya kecewa. "Dibilang kasar agak kelewat, tapi sudah kurang mampu, tidak mau usaha lagi. Rata-rata."
"Oh. Aku mengerti."
Jawaban kepala sekolah cukup mengejutkan. Kupikir kenapa, rupanya malas. Aku sih merasa sayang. Sebagai anak dari keluarga berada, aku berusaha semampuku untuk belajar sungguh-sungguh. Termasuk membanggakan kedua orangtuaku melalui beasiswa. Tapi aku masih kurang puas dengan jawaban kepala sekolah.
Keesokan harinya, aku bertanya pada beberapa temanku kenapa mereka tidak mau mengejar beasiswa. Dan benar saja, mereka mengatakan kalau hal itu sangat merepotkan, lebih baik main game, bersantai ria, atau tidur-tiduran. Teman-teman golongan ini membuat simpatikku pada mereka berkurang drastis. Namun beberapa mengatakan bahwa mereka punya tujuan lain seperti sedang mengejar impian, kerja sambilan, atau membantu kehidupan keluarga, jadi aku bisa maklum. Singkat cerita, setiap orang punya motivasi tersendiri dan sebaiknya berusaha di jalan masing-masing.
"Kesempatan datang bagi orang yang mau berusaha."
-Widdy, Author of Cerita Bijaksana
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Kehidupan
General FictionDalam kehidupan, kita menjalani hari demi hari tanpa tahu setiap kejadian memiliki hikmat yang seringkali menentukan arah hidup kita. Contohnya seseorang hendak menerobos lampu merah, tapi teringat peraturan lalu lintas dan berhenti. Tiba-tiba dari...