"Apakah belajar Bahasa Inggris itu penting, Bu Fima?"
Seketika perhatian seluruh kelas beralih kepada seorang pemuda yang duduk di sudut ruangan sebelum kembali pada Bu Fima. Guru Bahasa Inggris tersebut terdiam sejenak. Dan Wilbert tahu pertanyaan temannya bukanlah pertanyaan biasa.
Bu Fima menunjuk pemuda tadi. "Menurutmu?"
"Tidak penting karena tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari."
Sontak para mahasiswa bersorak riuh. Tidak menyangka jawaban dari lubuk hati terdalam mereka akan terutarakan hari ini langsung kepada guru terkait. Beberapa mahasiswa lain, terbilang pintar serta teladan, hanya mengangkat alis heran. Termasuk Wilbert sendiri.
"Oh, tidak-tidak," bantah Bu Fima sambil menggeleng kepala. "Musik anak muda zaman sekarang juga pakai Bahasa Inggris. Jadi Bahasa Inggris itu masih penting dalam komunikasi."
"Lalu apakah ibu akan lanjut kuliah lagi setelah lulus S2 jurusan sastra Bahasa Inggris?" tanya pemuda itu balik. "Padahal ibu sudah jago."
Pertanyaan berikutnya cukup menarik keingintahuan Wilbert. Ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi kala melipat tangan. Matanya berfokus menatap Bu Fima yang sedang menggigit bibir memikirkan jawaban.
"Tentu saja ibu akan lanjut ke jurusan S3," Bu Fima menjawab penuh percaya diri. "Apakah kau berminat mengikuti jejak ibu?"
"Tidak, Bu. Aku hanya tidak menyangka ibu mau lanjut belajar."
"Kenapa tidak?" Bu Fima mengangkat sebelah bahu. "Meski sudah belajar Bahasa Inggris sampai tingkat S2, ibu tetap akan mendapat ilmu ketika belajar tingkat S3."
"Apa maksud, Ibu?" Wilbert menimbrung tiba-tiba.
Bu Fima tersenyum kecil. "Tidak ada yang sia-sia, Wilbert. Apa yang kita pelajari tetap ada nilai dan manfaatnya walau seringkali baru tampak ke depan."
"Benarkah?"
"Ya. Seperti kau belajar Bahasa Inggris hari ini, ketika bertemu rekan bisnis luar negeri nanti baru akan kau pakai," jelas Bu Fima lalu mengangkat kepala melihat seluruh kelas. "Ada pertanyaan lagi?"
Para mahasiswa berpaling satu sama lain tanpa berkata apapun. Masing-masing berharap ada pertanyaan, namun tidak ada tangan teracung ke atas.
"Baiklah. Kuliah selesai sampai di sini," kata Bu Fima sembari membereskan berkas-berkas. "Selamat malam, anak-anak."
Para mahasiswa segera bubar. Sementara itu Wilbert tengah duduk merenung diri. Apa yang dikatakan Bu Fima kini tergiang terus dalam otak. Berpikir mungkin ada benarnya. Semenjak belajar bermain musik, dia sering patah semangat karena tidak tahu apakah musiknya akan berguna atau tidak. Tetapi kuliah Bu Fima memberi secercah harapan. Wilbert pun memutuskan untuk tetap bermain musik.
Tidak ada yang sia-sia. Segala sesuatu ada nilai dan manfaatnya ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Kehidupan
General FictionDalam kehidupan, kita menjalani hari demi hari tanpa tahu setiap kejadian memiliki hikmat yang seringkali menentukan arah hidup kita. Contohnya seseorang hendak menerobos lampu merah, tapi teringat peraturan lalu lintas dan berhenti. Tiba-tiba dari...