Salah Paham

121 4 0
                                    

"Ada apa, Nak?" tanya Pak Gary sambil menoleh ke samping.

Pemuda itu tidak menjawab. Kepalanya tertunduk dengan kedua kaki dibuka lebar-lebar, sedang masing-masing tangan mencengkeram pinggiran dahi. Pak Gary menyadari ada hal yang menjanggal, namun diam saja. Dia tidak mau buru-buru menyimpulkan.

"Tak mau cerita?" tanya Pak Gary lembut. "Bukankah kau datang untuk minta didengarkan?"

Pemuda itu menggeleng kepala. "Justru aku minta nasehat."

"Menarik." Pak Gary menengadah memandang langit. "Biasanya kau enggan."

"Aku sudah tidak tahan dengan orang tuaku, Pak Gary," keluh sang pemuda, masih tertunduk. "Harusnya mereka MENGHILANG SAJA!"

Bentakan barusan segera bergema ke segala arah. Kucing terdekat tersentak dan lari tunggang langgang. Orang-orang sekitar, baik yang numpang lewat maupun sedang bersantai ria, langsung menoleh ke arah mereka. Rata-rata menunjukkan kerutan pada dahi. Merasa terganggu atau sekedar curiga melihat seorang pak tua berambut putih bersebelahan dengan seorang pemuda jangkung berbaju kaos cokelat. Pemuda itu terlihat kacau.

Pak Gary menghembuskan napas. "Kenapa bisa kau berkata begitu, Budi?"

"Mereka melarangku pergi ke luar negeri," jawab Budi tidak senang. "Aku ingin belajar tata boga untuk mengejar impianku menjadi seorang koki, tetapi mereka bilang anak laki-laki harus lebih jantan. Disuruhnya aku kuliah jurusan lain. Aku tidak suka diatur oleh mereka. Dari dulu selalu begitu."

Apa yang dialami Budi diketahui betul oleh Pak Gary. Sebagai seorang laki-laki tua yang telah menjalani suka duka dalam kehidupan selama 60 tahun lebih, dia mengerti perasaan Budi dan orang tuanya. Sama-sama memiliki pemikiran sendiri untuk pilihan terbaik.

"Apa yang akan kau lakukan?"

Budi mengangkat kepalanya. "Aku tidak tahu, Pak Gary. Aku sudah berusaha menjelaskan, tetapi mereka tidak mau mengerti."

"Orang tuamu beralasan apa?" Pak Gary memutar tubuh menghadap Budi. "Mari kita lihat dulu keinginan mereka."

"Mereka ingin aku kuliah jurusan lain yang lebih menguntungkan diriku seperti dokter, pengacara, dan sejenisnya."

Pak Gary mengangguk-angguk, "Selain itu?"

"Harus di Kota Medan tempat kita tinggal sekarang."

"Menarik," gumam Pak Gary sambil menggaruk dagu. "Ada lagi?"

"Hanya itu," Budi mengakhiri. "Aku lelah berdebat dengan mereka."

"Kau ingin tahu pendapatku?"

Budi menatap Pak Gary yang tersenyum kecil. "Ya. Tolong beritahu apa yang harus kulakukan."

"Begini," Pak Gary menghela napas, "Sebelum melakukan sesuatu, kita perlu melihat dari sisi orang tuamu. Mereka berkata ambil jurusan lain yang lebih menguntungkan karena tidak yakin jurusan tata boga bisa memberikanmu banyak penghasilan. Lalu menyuruhmu kuliah di Kota Medan agar mereka bisa disisimu jika terjadi sesuatu. Itu maksud tersembunyi mereka."

Budi merenung sejenak sebelum berkata, "Cuma itu? Bapak yakin?"

"Aku tidak hidup 60 tahun lebih hanya untuk tampil tua, Nak." Pak Gary tergelak. "Percayalah padaku. Aku sendiri sudah berurusan berkali-kali dengan anak-anakku."

"Kenapa bapak hidup sendiri kalau begitu?"

"Aku tidak ingin merepotkan mereka, Budi. Lagi aku masih sehat dan menikmati kebebasan hari tua."

"Lalu apa yang harus kulakukan agar orang tuaku mengerti?"

"Antara kau yang mengikuti keinginan mereka atau mereka yang menurutimu, bernegosiasilah."

"Aku sudah mencoba, Pak Gary," gerutu Budi. "Mereka tidak mau dengar."

"Aku belum selesai, Nak. Tenang." Pak Gary menepuk pundak Budi yang sedari tadi tegang. "Setelah kita tahu keinginan mereka, mari kita lihat keinginanmu yang ingin mengambil jurusan tata boga di luar negeri. Kenapa kau mau ambil jurusan tata boga?"

"Aku suka tata boga. Bapak tentu tahu aku sering membuat kue serta masakan apapun," terang Budi penuh semangat. Dia memang suka melakukan eksperimen makanan. "Pasar tata boga juga lumayan berpotensi. Jadi aku ingin menjalaninya."

"Haruskah di luar negeri?"

"Ada masakan khas dari negeri lain yang hanya bisa dibuat di sana. Mau tidak mau harus ke sana."

Sejenak Pak Gary teringat bahwa keluarga Budi bukanlah keluarga berada sekarang. Jika demikian, ada satu hal lagi yang lupa dikatakannya.

"Katakan kau ke luar negeri, siapa yang akan membiayaimu?"

"Keluargaku."

"Punyakah mereka uang sebanyak itu untuk menyekolahkanmu ke luar negeri?"

Budi membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu namun terkatup kembali. Ia teringat bahwa kondisi keluarga sedang krisis sejak bisnis sang ayah jatuh. Baru beberapa waktu lalu.

"Satu alasan kau tidak bisa ke luar negeri karena kurang biaya," sambung Pak Gary pelan. "Sudahkah kau cari informasi masakan itu di Medan? Atau bisakah kau berganti haluan ke masakan lain?"

"Aku sudah mencari informasi, tidak ada di Medan," jawab Budi singkat. Tiba-tiba secercah harapan tersirat dalam mata hitamnya. "Tapi kalau masakan Jepang, aku tidak perlu ke luar negeri untuk mempelajarinya."

"Bagus," sentak Pak Gary, ikut senang. "Kau tetap bisa belajar tata boga di Medan."

"Aku harus segera membicarakan ini dengan orang tuaku."

"Belum, Budi."

Kata-kata barusan membuat Budi menatap heran Pak Gary. "Ada lagi yang kurang?"

"Kau harus menyakinkan orang tuamu bahwa jurusan tata boga bisa memberikan penghasilan yang cukup."

"Oh," Budi bersuara kecewa. "Ayahku pasti tetap menentang keras."

"Aku tahu ayahmu keras kepala. Justru aku punya solusi untukmu," Pak Gary tersenyum lebar. "Kau ingat pak tua yang kita kebetulan termui seminggu yang lalu di mall?"

"Bapak botak berjanggut panjang itu? Yup, orangnya baik sekali."

"Dulu dia koki kelas kakap."

Mata Budi langsung melebar sampai-sampai bisa dicongkel keluar. "Kenapa bapak tidak bilang? Aku kan bisa bertanya-tanya dengannya."

"Kau akan punya waktu untuk itu." Pak Gary menarik secarik kertas dan pulpen dari dalam kantong baju kemejanya. Menulis sederet angka sebelum menyerahkannya pada Budi. "Telpon aku ketika kau bisa mempertemukan ayahmu dengan kami. Aku akan membawa teman kokiku itu untuk menyakinkan ayahmu."

"Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih padamu Pak Gary," tutur Budi penuh rasa terima kasih. Matanya berkaca-kaca. "Aku pasti akan menelepon bapak. Harusnya minggu ini aku bisa mengaturnya."

"Sama-sama, Nak." Pak Gary kembali menyunggingkan senyum. "Dan ingatlah bahwa dalam setiap permasalahan, seringkali terjadi perselisihan karena salah paham saja. Jika dibicarakan, maka bisa diselesaikan baik-baik."

"Akan kuingat itu, Pak Gary."

Pak Gary senang bisa membantu anak muda mengejar impiannya. Memang tidak mudah. Dulu dia harus mati-matian agar orang tua setuju. Namun dia menggunakan cara yang salah. Untung saja terselesaikan. Semuanya hanya masalah salah paham.

Salah paham seringkali menjadi penyebab perselisihan. Utarakan secara logis untuk menyelesaikannya.

Cerpen KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang